Selamat datang di Flores Island

Mengadu Nasib untuk Menemukan Si Galuh

Rabu, 28 November 20120 komentar


Kompas/Defri Werdiono
Seorang pendulang intan mensortir batuan di dekat peralatan semi mekanis yang disebut kilang atau semacam menara terbuat dari kayu, Sabtu (13/10), di area pendulangan intan Sungai Tiung, di Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Oleh Defri Werdiono

Stasiun Geofisika Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mencatat suhu udara pada Sabtu (13/10) siang 35,8 derajat celsius, suatu kondisi di atas rata-rata temperatur saat kemarau, 33-34 derajat. Namun, di tengah terik menyengat itu, Jani (40) dan enam rekannya bergeming demi satu tujuan, butiran galuh. 
Tak jauh dari Jani, belasan meter di dasar galian tanah berdiamater sekitar 15 meter tampak sejumlah orang sibuk memperbaiki salah satu genset. Sementara genset lainnya tengah memompa tanah bercampur air ke kilang (menara kayu) guna memisahkan kerikil dan pasir. Suaranya yang memekakkan telinga menambah suasana di kawasan pendulangan intan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, itu kian panas. 

Dengan posisi separuh badan terendam air kubangan berukuran 4 x 3 meter, Jani terus menggoyang linggangan. Linggangan adalah alat berbentuk kerucut mirip caping petani terbalik yang terbuat dari kayu jingah. Dengan peranti berdiameter sekitar 70 sentimeter itu para pendulang (penambang) memungut butiran galuh (sebutan bagi intan terkait kepercayaan setempat). 

Intan merupakan target utama pendulang. Hasil sampingannya adalah emas yang harganya lebih murah. Bila pendulang tidak mendapatkan keduanya, mereka memanfaatkan batuan seperti akik yang dianggap sebagai limbah. Sisa terakhir yang bisa dimanfaatkan ialah batu koral dan pasir untuk bahan bangunan dan tanah uruk. 

Harga intan yang telah diolah menjadi berlian memang selangit. Namun, penghasilan pendulangnya tak selalu pasti. Kalau sedang beruntung seorang penambang bisa mendapatkan jutaan rupiah dalam sehari, atau bahkan kaya mendadak. Bila nasib baik sedang tidak berpihak, hanya puluhan ribu yang diperoleh atau bahkan tidak dapat uang sama sekali. 

Jani menuturkan, paling sering seorang pendulang memperoleh Rp 60.000-Rp 70.000 sehari. Itu pun sudah termasuk hasil penjualan serpihan kecil emas yang biasanya ikut terjebak di dasar linggangan. Ia mencontohkan, dari satu butir intan berukuran sekitar 1 karat (200 miligram), sebagaimana yang ia temukan hari itu, penghasilan bersih yang masuk ke kantong diperkirakan hanya sekitar Rp 100.000. 

”Intan ini kalau dijual bisa mencapai Rp 4 juta. Namun, hasilnya akan dibagi-bagi untuk pemilik lahan, penjaga peralatan, hingga membayar air, dan pihak penanam modal. Yang didapat pendulang paling-paling hanya 25 persen. Itu pun masih dibagi lagi dengan rekan satu kelompok yang berjumlah 11 orang,” tutur Jani sembari menunjukkan butiran intan mentah seukuran biji kedelai. Beberapa serpihan emas kecil biasanya hanya dihargai sekitar Rp 25.000. 

Sejumlah pendulang intan tengah memanggul genset yang rusak dari dasar lubang galian ke permukaan tanah, Sabtu (13/10), di area pendungan intan Sungai Tiung, di Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pendulangan tradisional ini diperkirakan sudah ada sejak zaman kolonial dan hingga sekarang masih berlangsung.

Kelompok

Mendulang intan tidak dilakukan sendiri. Satu kelompok biasanya terdiri atas belasan hingga lebih dari 20 orang. Setiap orang punya peran masing-masing, ada yang bertugas melinggang, menyaring batu dan kerikil, hingga mereka yang bertugas menyemprotkan air bertekanan di dasar lubang galian. 

Aktivitas mendulang dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 15.30. Mereka biasa libur pada hari Jumat dan hari besar Islam. Selama musim hujan hampir semua aktivitas penambangan libur. Penyebabnya adalah lubang galian penuh terisi air. Selain itu, dinding lubang galian juga menjadi labil dan mudah longsor oleh hujan. 

Karena itu, musim kemarau benar-benar dimanfaatkan oleh mereka. Sinar Matahari yang panas pun tak dihiraukan. ”Paling-paling kalau musim hujan kami berkonsentrasi mencari pasir atau batuan koral sisa pendulangan. Satu truk pasir dihargai Rp 130.000, dan batuan koral Rp 180.000,” ujar Zuhrani (45), salah satu penambang dari kelompok lain. 

Hasil yang didapat para pendulang saat ini kian berkurang. Mencari intan tidak lagi semudah dulu. Dulu hanya dengan menggali tanah dangkal sudah bisa menemukan butiran intan. Sekarang mereka kerap membongkar kembali tanah padat bekas dulangan masa lalu. Upaya mencari lahan baru dengan bergeser ke arah perbukitan sebenarnya sudah dilakukan, tapi hasilnya dianggap nihil. Pendulang meyakini hanya di sekitar situ saja intan itu berada. 

Mantan pendulang yang juga penulis buku Tragedi Intan Trisakti, Tajuddin Noor Ganie, mengatakan, pada tahun 1970-an pendulangan sangat ramai. Hal ini terjadi karena pada saat itu mencari intan masih mudah. Dengan menggali tanah sedalam satu meter saja batu mulia itu sudah didapat sehingga orang berbondong-bondong ke tempat pendulangan untuk ikut mengadu nasib. 

”Dulu tahun 1970-an kehidupan pendulang makmur. Karena saat itu memang tidak diperlukan biaya tinggi untuk mencari intan. Kalau sekarang kan peralatannya semimekanis, perlu bahan bakar untuk mengoperasikan mesin. Belum lagi penghasilannya harus dibagi-bagi dengan pemilik modal dan lainnya,” ujarnya. 

Seorang pendulang intan tengah berkubang memilah butiran pasir yang ada dalam linggangan berbentuk kerucut seperti caping terbalik, Sabtu (13/10), di area pendungan intan Sungai Tiung, di Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pendulangan tradisional ini diperkirakan sudah ada sejak zaman kolonial dan hingga sekarang masih berlangsung. 

Tidak pasti 

Menurut Tajuddin, tutupnya perusahaan besar—seperti PT Aneka Tambang yang beroperasi tahun 1970-an dan PT Galuh Cempaka Banjarbaru yang beroperasi akhir 1990-an—salah satunya juga disebabkan penghasilan yang tidak pasti. PT Aneka Tambang sendiri diperkirakan berdiri lantaran terpengaruh oleh temuan intan Trisakti tahun 1965. Dengan mendirikan perusahaan besar, mereka beranggapan akan bisa menemukan batu mulia yang bisa menyamai intan 166,75 karat tersebut. 

Selain penghasilan yang tidak pasti, pendulang juga harus menghadapi risiko yang sewaktu-waktu mengancam. Pada 19 September lalu, misalnya, tiga penambang yang tengah beraktivitas di dasar lubang tewas tertimbun tebing galian yang longsor. Ketiga korban adalah Anang Siwang (50), Suriani (40), dan Sobari (25), warga RT 23 RW 08 Kelurahan Sungai Tiung. 

Peristiwa lebih besar pernah terjadi 40 tahun silam. Djarani EM dalam buku Mendulang Intan di Martapura menyebut tahun 1967/1968 terowongan tambang di Cempaka runtuh dan menelan 8 korban jiwa. 

Di luar kondisi intan yang semakin menipis dan risiko kerja para penambang, aktivitas pendulangan intan tradisional ini memunculkan pertanyaan lain berupa dampaknya terhadap lingkungan. Penambang bersikukuh apa yang mereka kerjakan tidak merusak karena dilakukan di lahan pribadi dan di lokasi itu saja. Lubang galian yang ada lambat laun juga tertutup oleh tanah di sekitarnya yang terbawa air hujan. 

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Selatan Hegar Wahyu Hidayat mengatakan, pemerintah daerah perlu terus menyosialisasikan pentingnya melakukan penambangan yang berwawasan lingkungan. Mengingat kawasan pendulangan itu sendiri sudah menjadi obyek wisata dan ikon Kalimantan Selatan.

Sumber : Kompas.com/tanahair
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Ebed Allan Derosary - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger