Benteng Pendem Cilacap (Belanda: Kusbatterij od de Lantong te Cilacap), dibangun 1861, adalah benteng peninggalan Belanda di pesisir pantai Teluk Penyu kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Bangunan ini merupakan bekas markas pertahanan tentara Hindia Belanda yang dibangun di area seluas 6,5 hektar secara bertahap selama 18 tahun, dari tahun 1861 hingga 1879. Benteng pendem sempat tertutup tanah pesisir pantai dan tidak terurus. Benteng ini kemudian ditemukan dan mulai digali pemerintah Cilacap tahun 1986.
Benteng Pendem dahulunya merupakan markas pertahanan tentara
Belanda di Cilacap, Jawa Tengah yang didesain oleh arsitek Belanda. Benteng
Pendem difungsikan hingga tahun 1942. Ketika perang malawan Pasukan Jepang,
benteng ini berhasil dikuasai Jepang. Tahun 1941, Jepang meninggalkan benteng
ini karena kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu; sehingga, benteng ini
diambil alih oleh TNI Banteng Loreng Kesatuan Jawa Tengah. Dalam penguasaan
TNI, benteng ini digunakan para pejuang kemerdekaan berlatih perang dan
pendaratan laut.
Benteng ini berada di kawasan lahan milik Pertamina, total
luasnya 10,5 Ha. Lahan yang digunakan Pertamina sekitar 4 Ha. Secara umum,
kawasan benteng yang telah dieksplorasi baru sekitar 60%. Untuk masuk ke dalam
Benteng, pengunjung yang masuk ke kawasan wisata Teluk Penyu harus membayar
tiket 4000 per orang, sedangkan tiket kendaraan sebesar 5000. Dengan mengikuti
petunjuk arah, belok ke kanan sekitar 200 m kita bisa menemukan Benteng yang
dimaksud. Letaknya di sisi kanan jalan dari arah belokan tadi *bingung kan
nulis apaan sih?*. Tenang saja, mudah kok mencarinya karena sisi sebelahnya
adalah laut selatan.
Di pintu masuk pengunjung dikenai HTM sebesar 4000 rupiah per
orang. Kami setuju ditemani pemandu, karena memang lebih nyaman dan jelas. Saya
mengemban ‘tugas negara’ untuk membuat catatan perjalanan yang berguna bagi
nusa dan bangsa *hiperbola*. Bukan sekedar jalan-jalan atau mojok seperti abg
yang ditemui di sana.
Masuk ke dalam Benteng kami dipandu melewati lingkaran parit.
Konon pada jaman dahulu lebar parit sekitar 18 m dengan kedalaman 3 m. Saat ini
lebar paritnya hanya 5 m dengan kedalaman 1-2 m. Fungsi parit yang utama adalah
melindungi benteng, menghambat laju musuh, patroli keliling menggunakan perahu
kecil, dan tempat pembuangan air dari terowongan. Pada saat melewati parit
inilah, tiba-tiba saya diserbu perasaan dingin dan bulu kuduk langsung berdiri
*masih tahap berkenalan rupanya*.
Kami berkeliling menuju barak yang dibangun pada tahun 1877 dan
terdiri dari 14 ruang. Tiap
ruang bisa menampung sekitar 30 prajurit. Dua ruang
terakhir yang lebih luas digunakan sebagai ruang untuk para komandan.
view diambil dari sisi berbeda foto pertama ruang barak
prajurit, foto kedua dari ruang barak komandan
Bangunan awalnya berupa susunan bata merah. Lantainya saat ini
sudah disemen dan tanpa pintu. Hm.. apakah orang Belanda lupa bikin pintu
ya?
Menyusur masuk di sisi kiri terdapat klinik yang dibangun tahun
1879 oleh Belanda dan difungsikan juga oleh tentara Jepang saat menduduki
Indonesia. Bangunan ini terdiri dari ruang tindakan dan perawatan pasien.
Setelah itu kami menuju ruang akomodasi yang berupa tempat
penyimpanan arsip, di ujung bangunan sebelah kiri (posisi pengunjung menghadap
bangunan) terdapat ruang komandan.
Di sebelah kanan terdapat ruang penjara I seluas 6 m2 yang
dibangun pada 1869. Difungsikan sebagai tempat penahanan pertama atau ruang
interogasi. Di dalamnya terdapat lingkar besi yang menempel dinding. Gunanya
untuk memborgol tahanan dengan posisi tangan terbentang, atau bahkan lebih
ekstrim lagi dengan kaki terbentang pula. Menurut sang pemandu, beberapa bulan
lalu di tempat ini dan di ruang penjara lainnya digunakan sebagai tempat syuting
uji nyali. Saya sih sudah tidak merinding lagi, tapi rasanya ogah juga kalau
ditinggal di situ
sendirian.
Kemudian kami menuju pintu gerbang utama yang dahulunya langsung
menghadap laut. Merupakan sebuah ruang pertahanan terbuka yang saat ini
berbatasan langsung dengan gedung milik Pertamina. Pintu gerbang asli hanya
sebatas tembok pertahanan saja. Simbol meriam yang menjulang merupakan
kenang-kenangan dari tentara marinir Indonesia setelah melakukan latihan
perang.
Di pintu gerbang terdapat benteng pengintai musuh. Lubang-lubang
kecil berfungsi untuk menyimpan senjata, sedangkan yang agak besar untuk
menyimpan amunisi.
Menyusur jalan setapak ke sebelah kiri dari pintu gerbang utama,
terdapat terowongan sepanjang 50 m yang dibangun tahun 1869. Fungsinya sebagai
tempat pengiriman senjata dan penyelamatan tentara Belanda melalui bawah tanah
menuju laut. Lubang sniper dibangun pada tahun 1873. Di
dalam terowongan
terdapat ruang penjara untuk mengeksekusi tahanan dengan menggunakan senjata
laras pendek. Ruang tersebut berukuran 1,5 x 2,5 m. Sayangnya karena tidak
membawa senter kami tidak bisa menyusuri terowongan.
Melipir lagi ke arah kiri terdapat sebuah sumur air tawar
sedalam 3 m yang dipakai untuk kebutuhan tentara sehari-hari.
Setelah itu kami melewati bangunan berupa ruang penjara yang
dibangun pada tahun 1861. Ruang penjara ini dilengkapi sistim pendingin dengan
cara direndam. Dalam satu rangkaian bangunan ini terdiri dari 3 ruang penjara
dan satu ruang senjata. Tiap ruang penjara dibagi menjadi 3 blok sel yang
berkapasitas 20 orang. Di ruang senjata inilah yang merupakan cikal bakal penemuan
Benteng. Sekitar 7 m tinggi bangunan yang tertimbun tanah. Naik ke gundukan atas terdapat benteng yang dibangun tentara
Jepang pada tahun 1942. Tempat ini merupakan bunker tempat perlindungan
tentara. Di dalamnya ada 7 ruang. Yang terlihat dari atas adalah sebuah lubang
besi yang berfungsi sebagai tempat ventilasi, terletak tegak lurus sekitar 3 m
ke bawah tanah.
Dengan adanya benteng yang dibangun oleh tentara Belanda dan
Jepang di satu lokasi, dapat dilihat perbedaan utamanya. Benteng Belanda
umumnya terdiri dari komponen berupa bata merah, pasir laut, kapur dari kerang
laut, tumbukan bata halus, besi, dan tidak memakai semen. Sementara bangunan
benteng Jepang menggunakan komponen pasir laut, kapur, batu split, besi, dan
semen.
Setelah itu kami berada di tempat yang merupakan benteng
pertahanan terakhir. Bagian belakang ini berbatasan langsung menghadap kilang
minyak milik Pertamina. Di bangunan ini terdapat 12 ruang penembakan/ruang jaga
yang masing-masing diisi 2 orang tentara.
Dan disinilah akhir perjalanan kami mengelilingi kompleks benteng. Masih ada
beberapa tempat yang sedikit dilewati yaitu bangunan-bangunan peninggalan
Jepang dan makam tua di bawah
pohon trembesi. Makam tersebut konon adalah milik
Sekar Wulung dan Ibu Nyai Sekar Jagad yang merupakan tokoh penyebar agama Islam
bercampur Kejawen.
Posting Komentar