Setiap kaum pria dari Desa Demondei, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, dipanggil untuk merantau. Tindakan ini diyakini membawa kesejahteraan bagi desa itu. Mereka mencari harta kekayaan tak ternilai bagi kekuatan tertinggi dan leluhur. Kepergian kaum pria di desa itu akan dilindungi leluhur. Keberhasilan yang dicapai adalah tujuan.
Jiwa petualang yang dimiliki setiap kaum pria merupakan realisasi dari perjalanan panjang dewa langit, burung (ayam) dari langit tertinggi, menuju dunia dan segala isinya. Perjalanan dewa langit membawa harmonisasi antara yang kuasa dengan bumi dan segala isinya, yang berdampak pada kesejahteraan manusia, masyarakat.
”Ayam itu terbang jauh membawa pesan keselamatan. Sama seperti si perantau pergi jauh, mencari pekerjaan yang layak. Jika ada perantau gagal merantau, termasuk ditangkap polisi, ia dinilai melakukan kesalahan,” kata juru bicara warga untuk tradisi tuno manuk, Agus Sido Kiwang, di Flores Timur, beberapa saat lalu.
Jika si perantau itu menemui masalah, mereka segera menginformasikan kondisi itu kepada anggota keluarga di kampung agar segera dipersembahkan ayam baginya melalui upacara tuno manuk. Atau, kejadian itu disampaikan kepada tetua adat untuk didoakan di rumah adat. Karena itu, meski kebanyakan berangkat sebagai tenaga kerja Indonesia ilegal, mereka ”sukses”, mendapatkan pekerjaan layak, menyimpan uang, terlindungi dari bahaya, dan selalu ada jalan keluar apabila menghadapi masalah keimigrasian.
Mereka tak pernah dipulangkan (deportasi) karena masalah keimigrasian. Selalu ada petunjuk bagi mereka saat menghadapi masalah. Banyak kisah keberuntungan yang mereka peroleh selama di perantauan, seperti di Malaysia, Brunei, Singapura, dan beberapa provinsi di Indonesia.
Pengalaman unik
Terdapat sejumlah kisah menarik dari perantau terkait hubungan ”Rera Wulan-Tanah Ekan” dan leluhur. Gaspar Ariana (54), yang pernah merantau ke Johor, Malaysia, misalnya, memiliki pengalaman unik. Saat dipenjara selama tiga hari di Johor tahun 2008, tiba-tiba seorang pria tua berpakaian adat kampung, tetapi mahir berbahasa Malaysia, mendatanginya.
”Orang itu mengaku sebagai warga negara Johor dengan alamat setempat sambil menunjukkan kartu identitas Malaysia. Ia meminta polisi jaga membebaskan saya dari penjara karena saya disebutkan sebagai tamunya. Orangtua itu menyebutkan, kedatangan saya ke Malaysia atas undangan dia. Polisi lalu bertanya, saya mengenal orang itu. Spontan saya jawab, ya. Saya dibebaskan dan dibiarkan pergi setelah polisi memberikan surat keterangan bebas jalan,” tutur Gaspar.
Namun, Gaspar mengaku, setelah keluar dari penjara, pria tua itu hilang ke arah belakang penjara. Gaspar tak melihatnya lagi.
Kisah unik ini tidak semua orang mengalaminya. Harus ada ikatan emosional antara sang perantau dengan Rera Wulan-Tanah Ekan, leluhur, nenek moyang, tetua adat di kampung, dan rumah adat yang disebut koke bale.
Sebelum meninggalkan kampung adat itu, perantau terlebih dahulu meminta restu ketua adat (kekuatan langit-bumi dan leluhur). Calon perantau menyerahkan sirih pinang, tembakau kasar di rumah adat, koke bale, dan berdoa meminta pertolongan leluhur. Ia juga mengunjungi kubur leluhur sambil memberikan sirih pinang dan tembakau sambil berdoa memohon perlindungan selama perjalanan.
Doa yang selalu diucapkan setiap perantau adalah mio molo peleat rara, go gawe gere dipelelet. Artinya, para leluhur lebih dulu membuka jalan, saya melangkah dengan aman dan tenang.
Segera memberi kabar
Ketika seorang tenaga kerja Indonesia ilegal lolos sampai di tempat tujuan dan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, ia pun segera memberi kabar kepada keluarganya di kampung. Ayam pun disembelih di rumah adat milik suku sebagai ucapan syukur, memohon perlindungan selanjutnya selama di perantauan, dan memanggil orang itu cepat pulang ke kampung asal.
Setelah 1-3 tahun, perantau itu dinilai sukses, ia segera pulang ke kampung asalnya dengan membawa hasil karya dari rantau. Hasil karya itu sebagai bagian dari persembahan, kekayaan, nama besar, dan status sosial leluhur. Sukses warga kampung, keluhuran serta kebesaran nama ”Rera Wulan-Tanah Ekan” dan leluhur.
Sebagai tanda syukur, mereka memberikan uang secara sukarela kepada ketua adat untuk mengadakan sarana dan prasarana rumah adat. Sebagian mengadakan fasilitas desa, seperti mesin genset (listrik desa), kendaraan desa, dan alat olahraga desa.
Kepala Desa Demondei, Wenseslaus Woda (42), menuturkan, hasil merantau ini berdampak positif bagi desa. Rata-rata setiap keluarga tak lagi memiliki rumah ilalang dan berdinding bambu atau kayu. Rata-rata mereka memiliki rumah beton yang dilengkapi mesin genset, televisi berparabola, dan mampu membiayai pendidikan anak-anak sampai di perguruan tinggi.
”Data di Bank BRI Cabang Waiwerang, setiap tahun dana singgahan dari perantau di bank itu mencapai Rp 7 miliar. Jumlah ini untuk semua perantau dari Pulau Adonara, termasuk warga desa Demondei dengan dana rata-rata Rp 550 juta per bulan,” kata Woda.
Jumlah penduduk Demondei sekitar 1.250 jiwa dan tak kurang dari 420 orang di perantauan. Rata-rata satu perantau mengirimkan Rp 1,3 juta per bulan melalui bank. Namun, mereka tidak mengirim dana secara rutin, setiap bulan. Setiap perantau mengirim uang setelah bekerja 6-12 bulan.
Uang kiriman perantau biasanya untuk membangun rumah, menyekolahkan anak, atau menyelesaikan perkawinan adat (beli batang gading gajah). Mereka juga bergotong royong mengumpulkan uang untuk menyediakan fasilitas desa, seperti genset, rumah ibadah, kendaraan desa, dan gedung sekolah dasar.
Gaya hidup
Perantau ilegal seperti menjadi gaya hidup warga Demondei dan sekitarnya, yang tinggal jauh dari pusat pemerintahan dan kurang tersentuh pembangunan. Mereka lebih paham mengenai suasana di daerah perantauan ketimbang kawasan pusat pemerintahan di Larantuka atau Kupang, ibu kota Provinsi NTT.
Sebagian orangtua lebih memilih mengirim anaknya merantau ketimbang menyekolahkannya di kampung atau di kota. Pemahaman ini terbangun karena sebagian lulusan sekolah menengah atau sarjana pulang kampung dan bekerja kasar bersama masyarakat.
Hampir semua pria di desa itu pernah memiliki pengalaman sebagai perantau, khususnya di Malaysia dan Singapura. Bahasa Melayu sering digunakan di kalangan mereka.
Persaingan dalam pembangunan ekonomi rumah tangga cukup terasa. Jika seorang perantau memiliki rumah beton, genset, dan televisi berparabola, yang lain pun berusaha memiliki lebih dari itu.
Sejumlah mantan perantau meningkatkan modalnya dengan sistem rentenir. Uang Rp 10 juta yang dipinjamkan kepada calon perantau, misalnya pada Oktober 2011, harus dikembalikan pada Oktober 2012 senilai Rp 20 juta. Jika tidak dilunasi, periode yang sama tahun depan menjadi Rp 40 juta.
Namun, tak pernah ada perantau yang terlilit utang itu. Rata-rata pada tahun pertama di perantauan, pinjaman itu dilunasi. Uang senilai Rp 10 juta itu, antara lain untuk pembuatan paspor, kartu tanda penduduk, dan menyogok petugas di perbatasan.
(KORNELIS KEWA AMA)
Sumber : kompas.com
Posting Komentar