Selamat datang di Flores Island

Sepenggal Cerita di Yuen Long

Minggu, 13 Januari 20130 komentar


Oleh Aliyah Purwati

Minggu(5/9),  cuaca masih lumayan panas, dengan suhu sekitar 32 derajad celcius. Pengap pun tak bisa dihindari, karena Hong Kong nyaris tak ada angin. Maklum saja, kota dengan penduduk hanya sekitar tujuh juta jiwa ini dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Prediksiku kemarin akan turun hujan, setelah aku melihat prakiraan cuaca di TV. Tapi ternyata meleset. Ah tak apa lah bagiku!
Sekitar pukul delapan pagi, aku langsung keluar rumah, setelah mengurus nenek yang kuasuh. Seperti rencanaku sebelumnya, aku hendak mengunjungi Yuen Long, yang terletak di kawasan New Teritories. Lumayan jauh memang dari Tsz. Wan Shan, tempatku bekerja. Namun aku nekat saja, toh sebentar lagi aku akan pulang.
Aku sengaja ke sana, selain ingin menikmati bakso dan tempe goreng di toko Srikandi, yang menurutku sangat enak, juga mempunyai tujuan lain. Aku ingin tahu kondisi kawan-kawan BMI di sana secara langsung.
Setelah sampai di bawah Oi Cheung House, apartment tempatku bekerja, mini bus nomer 37M pun langsung datang. Lumayan lah, tak usah menunggu terlalu lama. Mini bus langsung berjalan membawaku ke Wong Tai Sin. Sepanjang jalan sudah ramai oleh kawan-kawan BMI dan juga Pekerja Rumah Tangga (PRT) asal Piliphina yang juga akan menikmati hari libur. Sesampai di Wong Tai Sin, aku langsung menyebrang sebuah jembatan dan turun hingga di sebuah halte. Banyak orang sudah mulai antre di sana.
Dari awal aku sudah tahu, kalau bis yang akan mengantarku ke Yuen Long adalah bis nomer 268. Di halte tersebut ada dua bis yang nomernya hampir sama, dengan tempat antrean yang berjajar pula.  Yakni nomer 268 yang jurusan  Yuen Long dan satunya lagi bis nomer 289 jurusan Tin Shui Wai. Bis belum datang dan aku memilih duduk di sebuah kursi kayu panjang, yang letaknya persis di sebelah halte. Aku menikmati udara pagi sambil mendengarkan musik di handphone-ku.
Tak lama kemudian, bis nomer 269 datang. Entah mengapa, aku langsung saja naik. Segera aku tekan octopus card-ku di mesin pembayaran bis. Setelah itu aku langsung naik ke atas bis, karena dari dulu aku memang tidak suka duduk di bagian bawah. Di atas, bagiku bisa lebih enak, nyaman sambil menikmati pemandangan yang ada di sepanjang jalan. “Ini waktuku yang terakhir menikmati sepanjang jalan ini,” pikirku saat itu.
Aku duduk di bagian paling depan, bersebelahan dengan seorang nenek. Dia asyik telponan dengan kerasnya. Ada rasa risih karena ssuaranya sangat lah berisik. Sementara penumpang di belakangku, beberapa kali mengingatkannya, agar pelan-pelan saja ngbrol di telfonnya. Tapi tetap saja tak mau mendengar. Aku yang persis di sebelahnya, terganggu setengah mati. Langsung saja, aku dengarkan musik lagi dengan volume paling keras, agar suara berisiknya tak masuk di telingaku.
Aku asyik dengan musikku, sembari menyanyi kecil. “Ah, emang lu doang yang bisa berisik. Gue juga bisa lho,” gumamku. Perjalanan memakan waktu sekitar 55 menit. Sebenarnya untuk ukuran orang Hong Kong, waktu tersebut termasuk jarak tempuh yang cukup jauh. Tapi karena sarana transportasi yang sangat canggih, rasanya dekat saja. Karena daerah Kowloon ke kawasan New Teritories, terhalang oleh laut dan gunung. Canggihnya, dari beberapa gunung itu, dijebol, dan dijadikan jalan aya, yang dapat menghubungkan daerah Kowloon dan New Teritories itu sendiri. Kemudian di atas laut  juga dibuatkan jembatan jalan raya, yang sangat nyaman dan bebas dari keamcetan tentunya. Aku menikmati suasana yang ada, terlebih suasana laut. Sambil berfikir, kapan  negaraku bisa seperti ini ya?
Tak lama kemudian, bis sampai di terminal akhir. Aku langsung turun dan di situ lah aku baru sadar kalau aku salah naik bis. Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan? Spontan aku kebingungan, karena daerah itu sama sekali belum pernah aku jamah sebelumnya. Sambil melihat arah penunjuk jalan, aku celingukan sana sini. Hingga akhirnya aku menemukan tempat pemberhentian kereta, yang bernama Tin Wing. Kalau mau naik, mesti membayar dulu dengan menggunakan octopus card, di mesin yang telah disediakan. Aku sempat heran, karena tempat pemberhentian kereta tersebut tak ada petugas yang berjaga. Jadi tidak menutup kemungkinan, orang yang mau naik kereta langsung masuk  dengan tanpa membayar. Beberapa orang mulai berdatangan dan  mereka dengan rapinya membayar dengan menggunakan octopus card.
Tak lama kemudian, aku pun membayar dan masuk ke tempat pemberhentian kereta. Aku langsung melihat peta yang tersedia, karena takut kesasar, jadi aku perhatikan dengan seksama. Tapi, beruntung seorang kawan yang ternyata bekerja di daerah situ menelpon dan menanyakan keberadaanku. Lama juga aku nongkrong di tempat itu. Setelah puas menikmati suasana yang ada, aku langsung masuk kereta begitu tiba. Tak begitu banyak orang, sehingga aku pun bisa duduk. Informasi dari kawanku tadi, aku mesti naik kereta jurusan MTR Tin Shui Wai dan turun paling akhir, dengan waktu tempuh sekitar 10 menit saja.
Kereta terus melaju dan sepuluh menit pun telah berlalu. “Kok belum sampai juga,” aku bicara sendiri sembari memperhatikan sepanjang jalan. Lumayan bingung juga aku dibuatnya. Segera aku menelpon kawanku tadi dan masih bingung juga, akhirnya aku bertanya pada penumpang di sebelahku. Setelah sampai, dia langsung memberitahu aku. “Siuce, to lah. Faiti lok che lah (Nona, sudah sampai. Cepat turun kereta),” kata gadis itu sambil tersenyum.
“Oh, emkoy sae (Oh, terimakasih banyak),” jawabku sembari melambaikan tangan padanya. Dan kami pun berpisah.
Setelah itu, aku langsung masuk ke MTR Tin Shui Wai. Sesuai kata kawanku, aku harus naik MTR ke Long Ping, jika mau ke toko Srikandi. Segera aku cari dan akhirnya ketemu juga. Tak lama kemudian, kereta cepat itu pun tiba. Tidak perlu memakan waktu dua menit, sampai juga di Long Ping. Aku berusaha mencari jalan menuju toko yang kutuju. Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang ibu setengah tua berjilbab. Aku yakinkan bahwa dia orang Indonesia juga, kulihat dari pembawaannya. Aku langsung bertanya, bagaimana jalan menuju toko Srikandi. Toko tersebut sangat terkenal, aku yakin bayak orang yang tahu.
Setelah itu, aku langsung meluncur sesuai petujuk ibu setengah tua tadi. Mengunjungi Yuen Long, seperti mengunjungi kampung halaman saja. Daerahnya persis seperti di desa. Orang lalu lalang naik sepeda berbelanja juga banyak. Bahkan,  di sepanjang jalan dari MTR Long Ping menuju toko Srikandi, aku mendapati nenek-nenek berjualan sayur secara lesehan di pinggir jalan. Ada daun pepaya, ketala dan beberapa sayur lainnya. Memang, orang di Yuen Long masih banyak yang suka menanam sayur sendiri di halaman  atau pun di belakang rumah. Daerah ini memang paling unik menurutku, jika dibandingkan dengan daerah lain yang notabene merupakan daerah kota yang selalu ramai dan tak pernah mati. Itu lah yang membuatku tertarik untuk mengunjunginya, sebelum aku pulang nanti. Dan aku jadi ingat, dua tahun lalu seorang kawanku yang bekerja di daerah Yuen Long situ menggugat majikannya, karena dipaksa bekerja di sawah belakang rumah saban harinya. Majikannya suka bertanam, bahkan tidak jarang dijual di pasar hasil tanamannya itu. Sementara hukum perburuhan di Hong Kong mengatakan, bahwa buruh migran sektor ruymah tangga, hanya boleh bekerja untuk urusan rumah tangga saja, dan bukan bertanam, yang sama sekali tidak tercantum dalam surat kontrak kerja.
Setelah susah payah mencari, akhirnya aku temukan juga toko Srikandi. Sangat khas jika dibandingkan dengan toko-toko Indonesia lain di Hong Kong. Begitu sampai, pemandangan puluhan kawan-kawan BMI yang sedang asyik menonton TV siaran Indonesia dapat kita lihat. Lengkap dengan celotehan-celotehan bahasa Jawa yang sangat khas. Sungguh, rasanya seperti di kampung halaman sendiri saja. Ada yang fokus menonton saja, ada juga yang sambil menikmati bakso, nasi pecel, nasi campur dan makanan Indonesia lainnya. Aku memperhatikan sambil senyum-senyum sendiri. Dan yang ada di pikrianku adalah, mereka semua adalah perempuan-perempuan perkasa. Meninggalkan anak, suami dan keluarga demi menyambung hidup. Begitu juga aku, sesama BMI.
Mereka menonton TV secara lesehan di halaman toko Srikandi. Dan jika hujan deras turun, mereka pun bubar. Modelnya MisBar saja, yakni Gerimis Bubar. Tapi aku yakin, dengan begitu saja, mereka sudah cukup terhibur setelah selama enam hari berkutat di rumah majikan. Lapar pun  mulai menggodaku. Segera aku memesan bakso dan dua tempe goreng. Untuk bisa makan tempe goreng pun harus antri agak lama, karena saking banyaknya peminat. Sangat enak memang menurutku, jika dibandingkan tempe goreng di toko Indonesia lainnya. Harganya pun relativ lebih murah.
Bakso datang dan aku pun menikmatinya dengan duduk di belakang  kawan-kawan yang sedang nonton TV. Setelah bakso tinggal separo aku makan, tiba-tiba datang seorang perempuan berkulit hitam manis. Rambutnya masih sangat pendek.
“Maaf mbak, boleh kah aku duduk di sini?” tanyanya padaku. “Oh, boleh banget mbak. Silakan,” aku mempersilakannya duduk persis di sebelahku.
Beberapa menit kemudian, kawannya datang dengan membawa bakso dan beberapa tempe goreng. Mereka ngobrol dengan asyiknya, hingga aku pun tertarik untuk ikut nimbrung, yang membawa  kami pada percakapan yang cukup hangat, sembari menikmati bakso.
Namanya Ida(34), bukan nama sebenarnya. Dia baru 11 bulan bekerja di Hong Kong. Enam bulan pertama bekerja, dia di-terminit oleh majikannya, karena dianggap tidak bisa mengurus anak kecil. Ketika itu, dia  menjalani masa potong gaji selama lima bulan, dengan gaji di bawah standar, yakni sebesar HK$2000.
“Saya tidak tahu hukum perburuhan. Lha wong dapat buku kuning (tentang hukum perburuhan) di bandara itu langsung diminta mbak agen kok,” ungkapnya polos.
Perempuan itu demikian ramah, selalu tersenyum di setiap obrolan kami. Setelah di-terminit, ia mencari majikan baru dengan jasa agen yang sama, yakni Sunny Company.
Kali ini dia pun mesti menjalani masa potong gaji lagi selama tiga bulan, dengan gaji standar sebesar HK$3580 per bulan. Dia bekerja di kawasan Sai  Wan Ho, Hong Kong Island dan hanya bertugas untuk bersih-bersih rumah saja.
Perempuan asal Ponorogo itu berkisah, bahwa dia sangat beruntung meskipun bekerja sebagai BMI di Hong Kong. Karena suaminya baik-baik saja di rumah mengurus anak dan tetap tahu tanggung jawab.
“Suamiku itu kalo gak kerja gak berani keluar rumah, Mbak. Malu sama tetangga. Istrinya jauh-jauh kerja kok malah dia enak-enakan,” jelas Ida yang suaminya bekerja sebagai buruh di sebuah tempat usaha pengepakan jeruk.
Makin siang, suasana semakin ramai. Lalu datang seorang penjual baju anak-anak keliling di dekat kami duduk. Tiba-tiba Ida terdiam.
“Mbak, gapapa?” tanyaku padanya.
“Saya ingat anak saya di rumah, Mbak. Dia anak yang baik. Ingat kalo saya telpon, dia mesti tanya ibu sudah makan apa belum, ibu sedang apa, ibu sehat apa nggak,” jawab Ida dengan mata berkaca-kaca. Aku terharu mendengar semua penuturan polosnya.
“Saya selalu menangis ketika anak saya bertanya begitu. Lalu dia menyuruh saya agar tidak usah menangis, karena dia di rumah baik-baik saja,” lanjutnya.
Anak Ida berumur tujuh tahun dan duduk di bangku kelas II, di sebuah sebuah yayasan Islam di Ponorogo. “Tapi saya bertekad hanya dua tahun saja mbak di sini. Kasihan anak saya,” ujarnya. Aku terus mendengarkan dengan seksama. Hingga akhirnya HP-nya berdering dan dia pun pergi karena ditunggu kawannya.
Aku terdiam sejenak, merenungi cerita Ida tadi. Sampai baksoku habis dan kawanku menelpon bahwa dia sudah sampai di depan toko Srikandi pula. Akhirnya kami bertemu, keliling di sekitar situ. Banyak hal kutemui, dari mulai kawan-kawan BMI yang menghabiskan waktu libur hanya dengan duduk ngobrol dan makan bersama kawan-kawannya, ada yang mengaji, ada pula yang membaca buku di sebuah perpustakaan kecil di sudut taman sekitar toko Srikandi tersebut.
Puas berkeliling, akhirnya kami meluncur ke Causeway Bay. Oh, Yuen Long, sebuah daerah kecil yang tak akan pernah kulupa. Aku pun bertanya ”entah kapan aku bisa ke sana lagi.” 

(Aliyah Purwati)
 Tsz. Wan Shan, 6 September 2010 ( 06.10 PM) 

 Sumber : kompas.com
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Ebed Allan Derosary - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger