Oleh Aliyah Purwati
Minggu(5/9), cuaca masih lumayan panas, dengan suhu sekitar 32 derajad
celcius. Pengap pun tak bisa dihindari, karena Hong Kong nyaris tak ada
angin. Maklum saja, kota dengan penduduk hanya sekitar tujuh juta jiwa
ini dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Prediksiku kemarin
akan turun hujan, setelah aku melihat prakiraan cuaca di TV. Tapi
ternyata meleset. Ah tak apa lah bagiku!
Sekitar pukul delapan
pagi, aku langsung keluar rumah, setelah mengurus nenek yang kuasuh.
Seperti rencanaku sebelumnya, aku hendak mengunjungi Yuen Long, yang
terletak di kawasan New Teritories. Lumayan jauh memang dari Tsz. Wan
Shan, tempatku bekerja. Namun aku nekat saja, toh sebentar lagi aku akan
pulang.
Aku sengaja ke sana, selain ingin menikmati bakso dan
tempe goreng di toko Srikandi, yang menurutku sangat enak, juga
mempunyai tujuan lain. Aku ingin tahu kondisi kawan-kawan BMI di sana
secara langsung.
Setelah sampai di bawah Oi Cheung House,
apartment tempatku bekerja, mini bus nomer 37M pun langsung datang.
Lumayan lah, tak usah menunggu terlalu lama. Mini bus langsung berjalan
membawaku ke Wong Tai Sin. Sepanjang jalan sudah ramai oleh kawan-kawan
BMI dan juga Pekerja Rumah Tangga (PRT) asal Piliphina yang juga akan
menikmati hari libur. Sesampai di Wong Tai Sin, aku langsung menyebrang
sebuah jembatan dan turun hingga di sebuah halte. Banyak orang sudah
mulai antre di sana.
Dari awal aku sudah tahu, kalau bis yang
akan mengantarku ke Yuen Long adalah bis nomer 268. Di halte tersebut
ada dua bis yang nomernya hampir sama, dengan tempat antrean yang
berjajar pula. Yakni nomer 268 yang jurusan Yuen Long dan satunya lagi
bis nomer 289 jurusan Tin Shui Wai. Bis belum datang dan aku memilih
duduk di sebuah kursi kayu panjang, yang letaknya persis di sebelah
halte. Aku menikmati udara pagi sambil mendengarkan musik di
handphone-ku.
Tak lama kemudian, bis nomer 269 datang. Entah
mengapa, aku langsung saja naik. Segera aku tekan octopus card-ku di
mesin pembayaran bis. Setelah itu aku langsung naik ke atas bis, karena
dari dulu aku memang tidak suka duduk di bagian bawah. Di atas, bagiku
bisa lebih enak, nyaman sambil menikmati pemandangan yang ada di
sepanjang jalan. “Ini waktuku yang terakhir menikmati sepanjang jalan
ini,” pikirku saat itu.
Aku duduk di bagian paling depan,
bersebelahan dengan seorang nenek. Dia asyik telponan dengan kerasnya.
Ada rasa risih karena ssuaranya sangat lah berisik. Sementara penumpang
di belakangku, beberapa kali mengingatkannya, agar pelan-pelan saja
ngbrol di telfonnya. Tapi tetap saja tak mau mendengar. Aku yang persis
di sebelahnya, terganggu setengah mati. Langsung saja, aku dengarkan
musik lagi dengan volume paling keras, agar suara berisiknya tak masuk
di telingaku.
Aku asyik dengan musikku, sembari menyanyi kecil.
“Ah, emang lu doang yang bisa berisik. Gue juga bisa lho,” gumamku.
Perjalanan memakan waktu sekitar 55 menit. Sebenarnya untuk ukuran orang
Hong Kong, waktu tersebut termasuk jarak tempuh yang cukup jauh. Tapi
karena sarana transportasi yang sangat canggih, rasanya dekat saja.
Karena daerah Kowloon ke kawasan New Teritories, terhalang oleh laut dan
gunung. Canggihnya, dari beberapa gunung itu, dijebol, dan dijadikan
jalan aya, yang dapat menghubungkan daerah Kowloon dan New Teritories
itu sendiri. Kemudian di atas laut juga dibuatkan jembatan jalan raya,
yang sangat nyaman dan bebas dari keamcetan tentunya. Aku menikmati
suasana yang ada, terlebih suasana laut. Sambil berfikir, kapan
negaraku bisa seperti ini ya?
Tak lama kemudian, bis sampai di
terminal akhir. Aku langsung turun dan di situ lah aku baru sadar kalau
aku salah naik bis. Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan? Spontan aku
kebingungan, karena daerah itu sama sekali belum pernah aku jamah
sebelumnya. Sambil melihat arah penunjuk jalan, aku celingukan sana
sini. Hingga akhirnya aku menemukan tempat pemberhentian kereta, yang
bernama Tin Wing. Kalau mau naik, mesti membayar dulu dengan menggunakan
octopus card, di mesin yang telah disediakan. Aku sempat heran, karena
tempat pemberhentian kereta tersebut tak ada petugas yang berjaga. Jadi
tidak menutup kemungkinan, orang yang mau naik kereta langsung masuk
dengan tanpa membayar. Beberapa orang mulai berdatangan dan mereka
dengan rapinya membayar dengan menggunakan octopus card.
Tak lama
kemudian, aku pun membayar dan masuk ke tempat pemberhentian kereta.
Aku langsung melihat peta yang tersedia, karena takut kesasar, jadi aku
perhatikan dengan seksama. Tapi, beruntung seorang kawan yang ternyata
bekerja di daerah situ menelpon dan menanyakan keberadaanku. Lama juga
aku nongkrong di tempat itu. Setelah puas menikmati suasana yang ada,
aku langsung masuk kereta begitu tiba. Tak begitu banyak orang, sehingga
aku pun bisa duduk. Informasi dari kawanku tadi, aku mesti naik kereta
jurusan MTR Tin Shui Wai dan turun paling akhir, dengan waktu tempuh
sekitar 10 menit saja.
Kereta terus melaju dan sepuluh menit pun
telah berlalu. “Kok belum sampai juga,” aku bicara sendiri sembari
memperhatikan sepanjang jalan. Lumayan bingung juga aku dibuatnya.
Segera aku menelpon kawanku tadi dan masih bingung juga, akhirnya aku
bertanya pada penumpang di sebelahku. Setelah sampai, dia langsung
memberitahu aku. “Siuce, to lah. Faiti lok che lah (Nona, sudah sampai.
Cepat turun kereta),” kata gadis itu sambil tersenyum.
“Oh, emkoy sae (Oh, terimakasih banyak),” jawabku sembari melambaikan tangan padanya. Dan kami pun berpisah.
Setelah itu, aku langsung masuk ke MTR Tin Shui Wai. Sesuai kata
kawanku, aku harus naik MTR ke Long Ping, jika mau ke toko Srikandi.
Segera aku cari dan akhirnya ketemu juga. Tak lama kemudian, kereta
cepat itu pun tiba. Tidak perlu memakan waktu dua menit, sampai juga di
Long Ping. Aku berusaha mencari jalan menuju toko yang kutuju. Hingga
akhirnya aku bertemu dengan seorang ibu setengah tua berjilbab. Aku
yakinkan bahwa dia orang Indonesia juga, kulihat dari pembawaannya. Aku
langsung bertanya, bagaimana jalan menuju toko Srikandi. Toko tersebut
sangat terkenal, aku yakin bayak orang yang tahu.
Setelah itu,
aku langsung meluncur sesuai petujuk ibu setengah tua tadi. Mengunjungi
Yuen Long, seperti mengunjungi kampung halaman saja. Daerahnya persis
seperti di desa. Orang lalu lalang naik sepeda berbelanja juga banyak.
Bahkan, di sepanjang jalan dari MTR Long Ping menuju toko Srikandi, aku
mendapati nenek-nenek berjualan sayur secara lesehan di pinggir jalan.
Ada daun pepaya, ketala dan beberapa sayur lainnya. Memang, orang di
Yuen Long masih banyak yang suka menanam sayur sendiri di halaman atau
pun di belakang rumah. Daerah ini memang paling unik menurutku, jika
dibandingkan dengan daerah lain yang notabene merupakan daerah kota yang
selalu ramai dan tak pernah mati. Itu lah yang membuatku tertarik untuk
mengunjunginya, sebelum aku pulang nanti. Dan aku jadi ingat, dua tahun
lalu seorang kawanku yang bekerja di daerah Yuen Long situ menggugat
majikannya, karena dipaksa bekerja di sawah belakang rumah saban
harinya. Majikannya suka bertanam, bahkan tidak jarang dijual di pasar
hasil tanamannya itu. Sementara hukum perburuhan di Hong Kong
mengatakan, bahwa buruh migran sektor ruymah tangga, hanya boleh bekerja
untuk urusan rumah tangga saja, dan bukan bertanam, yang sama sekali
tidak tercantum dalam surat kontrak kerja.
Setelah susah payah
mencari, akhirnya aku temukan juga toko Srikandi. Sangat khas jika
dibandingkan dengan toko-toko Indonesia lain di Hong Kong. Begitu
sampai, pemandangan puluhan kawan-kawan BMI yang sedang asyik menonton
TV siaran Indonesia dapat kita lihat. Lengkap dengan celotehan-celotehan
bahasa Jawa yang sangat khas. Sungguh, rasanya seperti di kampung
halaman sendiri saja. Ada yang fokus menonton saja, ada juga yang sambil
menikmati bakso, nasi pecel, nasi campur dan makanan Indonesia lainnya.
Aku memperhatikan sambil senyum-senyum sendiri. Dan yang ada di
pikrianku adalah, mereka semua adalah perempuan-perempuan perkasa.
Meninggalkan anak, suami dan keluarga demi menyambung hidup. Begitu juga
aku, sesama BMI.
Mereka menonton TV secara lesehan di halaman
toko Srikandi. Dan jika hujan deras turun, mereka pun bubar. Modelnya
MisBar saja, yakni Gerimis Bubar. Tapi aku yakin, dengan begitu saja,
mereka sudah cukup terhibur setelah selama enam hari berkutat di rumah
majikan. Lapar pun mulai menggodaku. Segera aku memesan bakso dan dua
tempe goreng. Untuk bisa makan
tempe goreng pun harus antri agak lama, karena saking banyaknya
peminat. Sangat enak memang menurutku, jika dibandingkan tempe goreng di
toko Indonesia lainnya. Harganya pun relativ lebih murah.
Bakso
datang dan aku pun menikmatinya dengan duduk di belakang kawan-kawan
yang sedang nonton TV. Setelah bakso tinggal separo aku makan, tiba-tiba
datang seorang perempuan berkulit hitam manis. Rambutnya masih sangat
pendek.
“Maaf mbak, boleh kah aku duduk di sini?” tanyanya
padaku. “Oh, boleh banget mbak. Silakan,” aku mempersilakannya duduk
persis di sebelahku.
Beberapa menit kemudian, kawannya datang
dengan membawa bakso dan beberapa tempe goreng. Mereka ngobrol dengan
asyiknya, hingga aku pun tertarik untuk ikut nimbrung, yang membawa
kami pada percakapan yang cukup hangat, sembari menikmati bakso.
Namanya Ida(34), bukan nama sebenarnya. Dia baru 11 bulan bekerja di
Hong Kong. Enam bulan pertama bekerja, dia di-terminit oleh majikannya,
karena dianggap tidak bisa mengurus anak kecil. Ketika itu, dia
menjalani masa potong gaji selama lima bulan, dengan gaji di bawah
standar, yakni sebesar HK$2000.
“Saya tidak tahu hukum
perburuhan. Lha wong dapat buku kuning (tentang hukum perburuhan) di
bandara itu langsung diminta mbak agen kok,” ungkapnya polos.
Perempuan itu demikian ramah, selalu tersenyum di setiap obrolan kami.
Setelah di-terminit, ia mencari majikan baru dengan jasa agen yang sama,
yakni Sunny Company.
Kali ini dia pun mesti menjalani masa
potong gaji lagi selama tiga bulan, dengan gaji standar sebesar HK$3580
per bulan. Dia bekerja di kawasan Sai Wan Ho, Hong Kong Island dan
hanya bertugas untuk bersih-bersih rumah saja.
Perempuan asal
Ponorogo itu berkisah, bahwa dia sangat beruntung meskipun bekerja
sebagai BMI di Hong Kong. Karena suaminya baik-baik saja di rumah
mengurus anak dan tetap tahu tanggung jawab.
“Suamiku itu kalo
gak kerja gak berani keluar rumah, Mbak. Malu sama tetangga. Istrinya
jauh-jauh kerja kok malah dia enak-enakan,” jelas Ida yang suaminya
bekerja sebagai buruh di sebuah tempat usaha pengepakan jeruk.
Makin siang, suasana semakin ramai. Lalu datang seorang penjual baju
anak-anak keliling di dekat kami duduk. Tiba-tiba Ida terdiam.
“Mbak, gapapa?” tanyaku padanya.
“Saya ingat anak saya di rumah, Mbak. Dia anak yang baik. Ingat kalo
saya telpon, dia mesti tanya ibu sudah makan apa belum, ibu sedang apa,
ibu sehat apa nggak,” jawab Ida dengan mata berkaca-kaca. Aku terharu
mendengar semua penuturan polosnya.
“Saya selalu menangis ketika
anak saya bertanya begitu. Lalu dia menyuruh saya agar tidak usah
menangis, karena dia di rumah baik-baik saja,” lanjutnya.
Anak
Ida berumur tujuh tahun dan duduk di bangku kelas II, di sebuah sebuah
yayasan Islam di Ponorogo. “Tapi saya bertekad hanya dua tahun saja mbak
di sini. Kasihan anak saya,” ujarnya. Aku terus mendengarkan dengan
seksama. Hingga akhirnya HP-nya berdering dan dia pun pergi karena
ditunggu kawannya.
Aku terdiam sejenak, merenungi cerita Ida
tadi. Sampai baksoku habis dan kawanku menelpon bahwa dia sudah sampai
di depan toko Srikandi pula. Akhirnya kami bertemu, keliling di sekitar
situ. Banyak hal kutemui, dari mulai kawan-kawan BMI yang menghabiskan
waktu libur hanya dengan duduk ngobrol dan makan bersama kawan-kawannya,
ada yang mengaji, ada pula yang membaca buku di sebuah perpustakaan
kecil di sudut taman sekitar toko Srikandi tersebut.
Puas
berkeliling, akhirnya kami meluncur ke Causeway Bay. Oh, Yuen Long,
sebuah daerah kecil yang tak akan pernah kulupa. Aku pun bertanya ”entah
kapan aku bisa ke sana lagi.”
(Aliyah Purwati)
Tsz. Wan Shan, 6 September 2010 ( 06.10 PM)
Sumber : kompas.com
Posting Komentar