Selamat datang di Flores Island

Jukung - Jukung Yang Terdesak Zaman

Rabu, 13 Maret 20130 komentar

KOMPAS/Defri Werdiono
Sejak dulu kehidupan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan tidak bisa dilepaskan dari jukung, alat transportasi tradisional yang dipakai untuk menyusuri sungai dan rawa. Salapudin (42) menyelesaikan pembuatan jukung papan di tepian Sungai Martapura, Kampung Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Tabuk, Banjar, Jumat (18/1).
 
Oleh: Defri Werdiono

”Tak ada jukung, maka tak ada orang Banjar”. Pemeo itu menggambarkan bagaimana sejak dulu jukung telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. Kini, dalam perkembangannya jukung harus bersaing dengan kendaraan di darat.

Mendung tebal yang menggelayut sejak pagi tidak menyurutkan semangat Idrus (29). Tangannya yang kecil namun kekar lihai mengarahkan mata bor hingga menembus tepat di tengah sambungan papan. Sejurus kemudian, pasak dari kayu ulin seukuran kelingking ia benamkan ke lubang bekas bor sehingga menjadi perekat yang ampuh untuk menyusun rumbing.

Rumbing adalah istilah setempat untuk menyebut bagian dinding jukung, alat transportasi air khas masyarakat Banjar. Rumbing terdiri atas beberapa papan yang diperkuat dengan kayu melintang yang disebut tajuk. Baik rumbing maupun tajuk melekat pada dasar jukung yang dinamai kerongkang.

Kerongkang yang menyerupai lesung panjang terbuat dari kayu seperti kupang, klepek, canggal, dan lanan. Ada referensi yang menyebut jenis kayu untuk membuat kerongkang hendaknya berasal dari keluarga Dipterocarpaceae.

Kerongkang biasanya didatangkan dari Manusop, di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Bagian jukung dirakit sesuai dengan pesanan di kawasan perajin jukung Palau Sewangi, Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan (Kalsel). Pulau Sewangi diapit dua sungai, yakni Alalak dan Barito, yang jauh lebih besar.

Lokasi Pulau Sewangi di pinggiran Kota Banjarmasin cukup mudah dijangkau karena hanya dipisahkan Sungai Alalak selebar sekitar 60 meter. Kendaraan seperti sepeda motor diseberangkan feri tradisional dengan tarif Rp 1.000 sekali jalan.

”Ini menyelesaikan jukung untuk dijual kalau ada pembeli yang datang. Jukung pesanan sudah diambil pemiliknya, kemarin. Pemesannya orang di Jalan Sultan Adam, Banjarmasin. Ia membeli jukung baru untuk mengangkut benih (padi),” ujar Idrus, Senin (14/1).

Saat ini di tempat Idrus bekerja masih terdapat dua jukung berukuran cukup besar sudah jadi, dua buah kerongkang, dan jukung setengah jadi yang tengah ia selesaikan. Harga setiap jukung buatan perajin di Pulau Sewangi bervariasi, berkisar Rp 4 juta sampai di atas Rp 10 juta, tergantung panjang dan besar jukung yang biasanya diukur dengan satuan depa (1 depa sama dengan 1,7 meter).

Seorang pekerja mampu menyelesaikan dua jukung dalam sebulan. Konsumen bebas memilih model sesuai keinginan. Untuk mesin pelengkap, mereka bisa minta dipasangkan sekaligus atau dipasang sendiri. ”Tak ada teknik khusus. Semua dikerjakan begitu saja. Keahlian diwariskan secara turun-temurun,” jelas Idrus, yang telah lima tahun menggeluti kegiatan ini.

Menurut Idrus, pesanan atau pembelian jukung dalam beberapa tahun terakhir cenderung stabil meski perkembangan kendaraan di Kalsel cukup besar. Jukung rupanya masih menjadi andalan masyarakat untuk menerobos wilayah-wilayah yang tidak bisa dijangkau sepeda motor dan mobil, seperti ke perkebunan atau mencari ikan.-

Makin tergerus
Namun, tidak semua pembuat jukung di Pulau Sewangi sependapat. Mereka menilai jukung mulai tergerus zaman. Nasib jukung saat ini tak sebagus tahun 1970-an dan 1980-an. Kini banyak masyarakat telah beralih pada kendaraan darat seperti sepeda motor dan mobil.

Muhammad (40), pembuat jukung lain, menuturkan, dulu pesanan datang hampir setiap waktu. Sekarang dalam waktu satu bulan belum tentu ada pesanan. ”Bahkan terkadang sampai tiga bulan baru ada konsumen datang,” tutur lelaki yang mengaku telah 20 tahun lebih bergelut dengan jukung itu.

Pengaruh berkurangnya pesanan terlihat dari jumlah usaha pembuatan jukung yang masih bertahan. Jika dahulu terdapat lebih dari 100 lokasi pembuatan jukung di Pulau Sewangi, saat ini jumlahnya tinggal sekitar 50 buah. Pulau Sewangi sendiri merupakan salah satu sentra pembuatan jukung, daerah lainnya ada di hulu Barito dan daerah Nagara di Kabupaten Hulu Sungai.

Persaingan dengan moda transportasi darat juga berimbas pada pesanan perahu-perahu besar. Jika dulu masih sering ada pesanan, seperti bis air hingga kapal kayu yang berharga ratusan juta, maka saat ini jarang terjadi. Perahu-perahu yang melayani angkutan penumpang dan barang dalam pulau itu rata-rata buatan lama.

Perlu kemudahan

Para perajin mengakui berkurangnya permintaan jukung tak lepas dari kondisi bahan baku kayu yang makin berkurang. Saman (40), pembuat jukung lainnya, menuturkan, harga papan untuk rumbing terus naik. Di sisi lain, razia yang dilakukan aparat dengan alasan kayu ilegal sering terjadi.

”Harusnya untuk industri kecil diberi kemudahan agar bisa bertahan. Bukan malah dipersulit. Sementara kami semua membeli yang artinya legal,” ucap Saman.

Ia pun berharap pemerintah bisa memberikan bantuan agar jukung bisa bertahan. Caranya melalui pameran maupun memberikan bantuan modal usaha dengan bunga rendah. Menurut para perajin, selama ini belum ada bantuan semacam itu.

Pengajar Sejarah pada Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hairiyadi, membenarkan jukung dan alat transportasi air lainnya kian terpojok persaingan. Mereka terdesak makin ke dalam dan bertahan di tempat tertentu yang tidak bisa ditembus kendaraan darat, seperti ke sawah untuk mengangkut padi dan mencari ikan.

”Dewasa ini jukung memang terdesak. Dibangunnya jalan darat dan bertambahnya kendaraan roda dua maupun roda empat menjadi faktor utama. Harga motor atau mobil yang lebih mahal tidak menjadi penghalang karena mereka lebih efektif untuk mencapai tempat jauh dibanding menggunakan perahu,” ujarnya.

Sebagai gambaran jumlah penambahan kendaraan bermotor di Kalsel mencapai 10-15 persen per tahun. Jika tahun 2005 volume kendaraan di Kalsel sekitar 473.000 unit, pada tahun 2010 jumlahnya menjadi 1,066 juta unit.

Masalah lain, menurut Hairiadi, jukung-jukung ini umumnya menggunakan bahan bakar solar. Beberapa tahun ini, solar di Kalsel cukup sulit didapat dan harganya lebih mahal dari premium. Akibatnya, orang akan memilih alat transportasi yang bahan bakarnya mudah didapat, seperti mobil dan sepeda motor.
 
sumber : kompas.com/tanahair
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Ebed Allan Derosary - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger