Selamat datang di Flores Island

Rakyat Dipancung,Pemerintah cuma Termenung

Kamis, 20 Desember 20120 komentar


Posisi dan peran penting buruh migran Indonesia (BMI) adalah fakta yang tidak terbantahkan. Tidak kurang dari 6 juta warga negara Indonesia menggantungkan nasib hidupnya pada profesi ini. Mereka berasal dari mayoritas wilayah di Indonesia: 19 provinsi dan 156 kabupaten/kota. Karenanya Indonesia menjadi salah satu negara pengirim buruh migran terbesar. Dari kerja keras mereka di negeri orang, negara menerima sumbangan bagi tambahan devisa melalui remitansi mencapai USD 5 milyar atau setara Rp 45 triliun (data Bank Indonesia per September 2011). Angka tersebut belum termasuk besarnya putaran uang di dalam negeri yang mengiringi bisnis mobilisasi buruh migran. 

Fakta di atas tidak sebanding dengan apresiasi yang diberikan oleh negara. Puluhan tahun BMI berjuang sendiri tanpa perlindungan dan penghormatan atas harkatnya sebagai warga bangsa. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II/2010 menyatakan bahwa penempatan BMI di luar negeri tidak didukung secara penuh dengan kebijakan yang utuh, komprehensif dan transparan untuk melindungi hak-hak dasar BMI. Ketidakjelasan kebijakan dan lemahnya sistem penempatan dan perlindungan BMI memberikan peluang terjadinya penyimpangan sejak proses rekrutmen, pelatihan dan pengujian kesehatan, pengurusan dokumen, proses penempatan di negara tujuan sampai dengan pemulangan BMI ke tanah air. Muara dari fakta ini adalah potret buram BMI. Setiap kali disebutkan tentang BMI, yang akan hadir adalah serentetan kasus hukum dan cerita duka. Sebuah ironi atas nasib anak bangsa yang sering dielukan sebagai “pahlawan devisa”. 

Satinah,Masih Menunggu Nasib 

Membaca berita media online yang seragam mewartakan nasib Satinah,seorang TKW negeri ini yang akan dipancung (qishash) mengusik menyeruak tanya besar seorang anak negeri.Sejak 2007,Satinah yang membunuh majikannya warga negara Arab Saudi harus berhadapan dengan hukum di negeri kaya minyak tersebut. Dalam pengakuannya kepada keluarga, Satinah terpaksa membunuh majikannya karena tak terima dituduh mencuri uang sang majikan senilai 38 ribu riyal.Tak hanya itu, kesabaran Satinah pun sudah habis karena sering dianiaya dan diperlakukan tak senonoh oleh sang majikan.Setelah membunuh majikan perempuannya Nura al-Gharib, di wilayah Gaseem pada awal 2009 Satinah melarikan diri meminta perlindungan ke KBRI.Semenjak mendekam di penjara Gaseem sampai keluar putusan pengadilan syariah tingkat pertama hingga kasasi (2010), Satinah diganjar hukuman mati (qishash). 

Pemerintah lewat fasilitasi Gubernur Gaseem melakukan langkah perdamaian di samping adanya pemaafan keluarga korban.Namun, keluarga korban bersikukuh tak mau menerima upaya maaf serta perdamaian. Akhirnya, pada 8 Februari 2011, berkat fasilitasi yang intens dari Gubernur Gaseem, tercapai upaya pemaafan ataupun damai dengan menyepakati diyat sebesar 500.000 RS (Rp 1,250 miliar) sebagai pengganti hukuman qishash. Ironisnya,selang waktu tak lama, keluarga korban justru menaikan besaran diyat menjadi 10 juta RS atau Rp 25 miliar. Jalan panjang diplomasi enam tahun sekedar menghasilkan diyat sebesar 7 juta riyal atau sekitar 20 miliar yang batas waktu pembayarannya tanggal 14 Desember,tinggal hitungan hari. 

"Kami sebagai keluarga hanya bisa pasrah dan berharap pemerintah Indonesia turun tangan untuk bisa menyelamatkan adik saya. Kami berharap kepada pemerintah Arab Saudi untuk membatalkan hukuman pancung tersebut," kata Pairi kakak kandung Satinah.Raut kesedihan juga tampak dari wajah anak tunggal Satinah, Nur Afriani (17) yang semenjak kecil sudah ditinggal ibunya menjadi TKW di Arab Saudi."Saya sedih dan merasa terpukul dengan kabar bahwa Ibu saya bakal dihukum pancung. Saya mau ibu pulang dengan selamat," ucapnya lirih.Kini pihak keluarga hanya bisa pasrah dan hanya bergantung kepada Pemerintah untuk bisa menyelamatkan Satinah dari hukuman pancung. 

Masih ada ratusan pekerja kita di luar negeri yang bernasib sama dengan Satinah. Saat ini, 303 orang warga negara Indonesia juga menghadapi ancaman hukuman mati, 233 orang di Malaysia, 29 orang di China dan 28 orang di Saudi Arabia. Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan cepat, tragedi serupa yang dialami Ruyati binti Satubi kemungkinan besar akan menimpa Satinah dengan batas pembayaran Diyat hingga 14 Desember 2012 serta Tuti Tursilawati dan BMI lainnya hingga saat ini nasibnya tidak menentu. 

Perlindungan Pekerja Migran 

Bangsa kita adalah bangsa yang besar seperti kata Bung Karno.Kita tentu tak ingin bangsa kita dianggap bangsa kerdil dan bisa dipermainkan.Buruh migrant kita diperkosa,kita cuma diam.Dubes Indonesia di Malaysia bersuara agar menghormati hukum negeri Jiran.Dengan membayar sejumlah uang jaminan,tiga polisi pemerkosa TKW kita bisa bebas berkeliaran tanpa ditahan.Menunggu keadilan keputusan hukuman, jelas kami rakyat negeri ini jadi ragu.Kita seolah bagai manusia besar lainnya yang takut mengalahkan Goliat sang raksasa karena banyak yang mati terkapar dibuatnya.Meski kecil kata orang,kita semestinya bagai Daud yang dengan postur kecilnya mampu mencabut nyawa Goliat dengan sekali ayunan pukulan.Kita perlu pemimpin yang berani memberikan perlawanan ketika TKI kita diperlakukan semena-mena di luar negeri.Negeri ini pun harus berani menolak hukuman mati yang diberlakukan bagi TKI kita. 

Hukuman mati telah menjadi sebuah perdebatan lama dikalangan internasional. Sampai pada bulan Juni 2006, tinggal 68 negara didunia yang masih mempraktekkan hukuman mati, termasuk Indonesia. Dalam perkembangannya, secara de jure terdapat 96 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 8 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 50 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan masih tersisa 43 negara yang belum menghapuskan hukuman mati, dengan 18 negara masih mengimplementasikannya pada tahun 2009. 

Bila pemerintah lebih mengedepankan niat melindungi warga negaranya maka sangat mudah diimplementasikan.Ratifikasi berbagai peraturan internasional yang memberikan perlindungan segera dilakukan.MoU yang dibuat dengan negara penempatan hendaknya lebih menjamin tenaga kerja kita.Tak ada kata pasrah pada hukum di negeri penempatan. 

Pemerintah Filipina mengambil alih proses pengurusan tenaga kerjanya untuk ditempatkan di luar negeri.Tenaga kerja direkrut dan diberikan pelatihan yang memadai sesuai standar kerja yang diminta negara penerima.Berbekal kealihan dan penguasaan bahasa yangdimiliki,tenaga kerja mereka bisa mendapatkan upah lebih besar hampir dua kali lipat upah yang diterima TKI.Negara juga memberikan perlindungan maksimal terhadap tenaga kerjanya.Membiayai pengacara terbaik hingga diplomasi antar kepala negara.Tak segan pula mereka menarik Duta Besar mereka hingga membekukan hubungan diplomatik dengan negara penempatan yang bermasalah. Ketika seorang tenaga kerja mereka terbebas dari hukuman pancung di Arab saudi,dia dijemput di bandara oleh Presiden,dikalungi bunga dan dielukan bagai pahlawan.Ini yang membuat kita beda dengan negara lainnya. 

Belajarlah dari Filipina.Jangan hanya diam karena masih banyak nyawa anak negeri yang terancam tanpa ada perlindungan yang negara berikan.Mereka diperkosa,kerja rodi tanpa upah,dihukum tanpa salah,hingga dipancung.Mereka mati meninggalkan duka mendalam bagi keluarganya.Duka mendalam bagi negeri ini.Duka mendalam karena pemimpin negeri ini salah melangkah. 

Cipinang,SBMI 

3 Desember 2012 

Ebed de Rosary
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Ebed Allan Derosary - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger