Benarkah Semangat Proklamasi Masih Ada?
Semangat proklamasi masih ada meski semakin terkikis. Bung Karno pernah berkata, "Dan manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!"
Apakah gerangan ’semangat proklamasi’ itu?
”Semangat proklamasi,” ujar Soekarno di ulang tahun kelima kemerdekaan Indonesia, ”adalah semangat rela berjoang, berjoang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri. Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat membentuk dan membangun Negara...Dan manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!”
Masih adakah idealisme dan semangat berjoang di antara kita?
Masih. Mahasiswa dan masyarakat madani turun kejalan, memekikkan reformasi, membebaskan negeri dari cengkraman tirani. Selepas kejatuhan Suharto, pelbagai langkah demokratisasi prosedural telah ditempuh dengan transformasi yang nyata: amandemen konstitusi, pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif fair, kebebasan berekspresi, keluasan akses informasi, desentralisasi dan otonomisasi, kehadiran institusi-institusi kenegaraan baru serta pemilihan presiden dan pilkada secara langsung. Di luar arena politik, kekuatan-kekuatan swadaya masyarakat menceburkan diri di zona-zona bencana dengan ketulusan patriotis yang mengharukan. Terkenang juga para pendekar kebudayaan yang secara berdikari mengirimkan talenta-talenta terbaik bangsa ke ajang kompetisi internasional—semacam olimpiade fisika atau festival kesenian—dan pulang dengan medali tertinggi.
Hanya saja, seperti kata sejarawan H.G. Wells, ”Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekad yang dimilikinya.” Kita punya idealisme reformasi, tetapi mudah surup oleh kepentingan-kepentingan sempit dan partikular. Kita bentuk partai politik untuk mengagregasikan aspirasi rakyat, namun lekas terpasung oleh ambisi-ambisi elitis. Kita susun undang-undang baru demi kebajikan bersama, namun terdistorsi oleh kemauan ”yang kuat”. Kita pilih presiden dan pilkada secara langsung demi pemberdayaan rakyat, namun mudah terbajak oleh kekuatan-kekuatan oligarkis. Kita lahirkan cerlang-cerlang individual, namun terbunuh oleh inkonsistensi dan kealpaan sistem meritokrasi.
Masih adakah semangat persatuan di antara kita?
Masih. Bahasa Indonesia makin penting sebagai lingua franca, perkawinan antaretnis pun merekatkan keindonesiaan. Elite settlement untuk mentransformasikan elit berseteru menjadi elit bersatu dalam prinsip-prinsip dasar kenegaraan mengalami kemajuan. Fanatisisme ideologis, yang mengubur eksperimen demokrasi parlementer, relatif makin cair. Piagam Jakarta tak lagi menjadi obsesi arus utama politik Muslim. Mayoritas elit mendukung amandemen konstitusi. Tentara rela keluar dari arena politik. Desentralisasi dan distribusi kekuasaan diterima sebagai keniscayaan. Solidaritas nasional juga terasa di kala bencana mendera.
Hanya saja, solidaritas emosional tersebut mudah roboh oleh kelemahan solidaritas fungsional, karena tak terpenuhinya cita-cita kebajikan dan kesejahteraan bersama. Solidaritas dan demokrasi, menurut Alexis de Tocqeville, memiliki makna di luar politik dan budaya: yakni kesederajatan sosial dan ekonomi. Kesetaraan sosial-ekonomi memunculkan hasrat membentuk asosiasi-asosiasi yang terbuka, tanpa melihat dan dibedakan menurut silsilah. Pada gilirannya, perkumpulan ini melindungi kesetaraan dengan mencegah kelompok lain menjadi dominan. Dengan demikian perkumpulan ini memiliki dua fungsi: mereka berasal dari dan menjaga solidaritas dan demokrasi. Demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi, menyimpan potensi erupsi, laksana bara dalam sekam yang dalam sekejap bisa menghanguskan ikatan-ikatan persatuan.
Masih adakah semangat membangun negara di antara kita?
Masih. Alim-ulama ingatkan kebangkrutan moral, aparat pembasmi korupsi mulai beraksi, politisi pecundang perankan oposisi, tentara lepaskan aktivitas niaga, pendidik rela berupah rendah, lembaga-lembaga pemantau bersitumbuh, media massa giat beberkan keborokan, pengamat aktif mengkritisi.
Hanya saja, kita mengalami krisis keteladanan dan kepemimpinan. Seperti sindir syair Arab, ”Berapa kali kau katakan, negara sedang sakit; sedang engkau adalah penyakit itu. Tunjuk hidung adalah kebiasaanmu; sedang engkau tak tampak menjaga kehormatannya.” Terlalu banyak yang mengeluh dan terlalu sedikit yang memberi contoh.
Mohammad Hatta pernah berkata: ”Kualitas pemimpin sepadan dengan caranya mendapat makan.” Ketika para pemimpin negeri berpesta menikmati gaji ke-13, sibuk ”jaga imej” atau memenangkan proyek, sedang rakyat banjir airmata dilanda bencana, menjadi jelas terukur bagaimana kualitas para pemimpin kita.
Sementara para pemimpin berpesta, arus neo-kolonialisme yang membonceng globalisasi semakin luas cakupannya, instan kecepatannya, dan dalam penetrasinya. Secara perlahan kantong-kantong usaha rakyat tergusur, sumberdaya alam terkuras, dan aktiva ekonomi mengalir ke pusat-pusat metropolis. Ledekan Profesor Veith dari masa lampau makin menikam di ulu hati: ”Di pantainya tanah Jawa rakyat berdesak-desakan; datang selalu tuan-tuannya setiap masa; mereka beruntun-untun sebagai runtunan awan; tapi anak-anak negeri sendiri tak pernah kuasa”.
Ditulis oleh: Yudi Latif, Chairman INSIDe (Institute for National Strategic Interest and Development)
Posting Komentar