Di sini publik harus cerdas. SAVE KPK mestinya mendorong KPK untuk membongkar Mega Skandal Century kasus Wisma Atlet dan Hambalang atau pengakuan Nazarudin, Yulianis, Rossa hingga BAP Anggie tentang keterlibatan beberapa petinggi negara.
Pada Jumat malam hingga pagi ini (5-9 Okt), sebuah epos drama terjadi di negeri ini.
Terlihat, ada sebuah drama yang sarat dengan rekayasa padahal akar rumput sangat mengharapkan sebuah perubahan yang murni, bukan basa basi.
Mulai minggu terakhir dalam bulan September 2012, publik disuguhi berbagai macam isu, khususnya soal mega skandal Bank Century, sampai Dipo Alam yang harus merepotkan diri datang ke KPK, untuk menyerahkan rekaman rapat istana, setelah Antasari dipanggil Timwas Century ke gedung MPR-DPR RI.
Pukulan telak juga dilontarkan mantan Wapres Jusuf Kalla: "Skandal Mega Century adalah Skandal Misterius dan Gila!"
Di hari Ulang Tahun TNI (5/10), publik disuguhi lagi drama "pengeroyokan" Kepolisian terhadap KPK. Kemudian, publik merespons dengan cepat lewat jaringan sosial media.
"Intervensi" informasi terhadap khalayak ramai yang begitu cepat dan masif itu ditandai dengan munculnya drama berjudul "Save KPK". Dan drama ini berakhir dengan "kemenangan" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang cukup apik dalam mengendalikan situasi.
Setidaknya, dalam Drama "Save KPK" ini ada beberapa hal yang bisa kita lihat secara nyata, yakni:
1. Penggunaan dan penunggangan KPK. KPK adalah episentrum kekuatan alternatif non partai untuk dijadikan upaya bargaining terhadap kekuasaan baik dalam sisi politik dan hukum. Ini bisa kita lihat munculnya kelompok-kelompok, yang memang secara historis dan ideologis, cenderung anti partai dan egosentris. Lebih tepatnya, kelompok yang berpikir sosialis, berkelakuan kapitalis, bermunculan dan mulai mengorganisir isu ini secara rapi hingga berkembang menjadi tren.
2. Faksionalitas dalam tubuh Kepolisian. Terasa segar, ketika terpublikasi Sang Kapolri tidak mengetahui ada nya "penyerbuan" di KPK pada Jumat malam (5/10). Padahal Kapolri Timor Pradapo, pada Jumat Pagi (5/10), masih bertemu dan berbincang dengan Presiden. Namun Jumat malam, terjadi operasi kampungan yang sangat terlihat dipaksakan, dan mencoreng muka Kepolisian.
Senin pagi (8/10) beredar informasi Wakapolri Nanan Sukarna, akan mengundurkan diri, untuk persiapan Pilkada Gubernur Jawa Barat. Yang menjadi pertanyaan, ini mengundurkan diri, atau diminta mundur oleh "pemegang" otoritas? Dikarenakan persoalan integritas? Atau agar tidak terjadi "dualisme" komando dalam kepolisian?. Ini yang diprihatinkan banyak pihak. Polisi yang sipil, lebih mudah masuk ke kancah politik. Polisi sudah menjadi Politisi.
3. Istana, dalam drama kali ini, "memenangkan" pertarungan publik, karena ini memang spesialisasinya. Pencitraan.
Bahkan pernyataan Presiden, dinilai berbagai kalangan cukup apik terhadap isu "Save KPK", lagi-lagi SBY lolos dalam "jebakan" Batman yang dibuat lawan-lawan nya, dan mampu tampil sebagai pahlawan. Terlihat lagi-lagi semata demi mempertahankan kekuasaan dan pengendalian situasi.
Mungkin lebih cerdas lagi, jika Senin malam (8/9) SBY, menugaskan Boediono yang menyampaikan keputusan Presiden.
Urgensi kepemimpinan adalah kepemimpinan dengan hati yang merasuk, mengikat suasana kebatinan rakyat. SBY belum menciptakan sejarah spektakuler dalam pemberantasan korupsi, masih sebatas mengendarai pemberantasan korupsi untuk bertahan hingga 2014.
Konflik antar lembaga, karena pergesekan kepentingan, atau memang potensi dibenturkan, memunculkan pahlawan ataupun kondisi alih isu sudah lumrah di Republik ini. Ini memperlihatkan conflict of interest masih di atas national interest.
Di sini publik harus cerdas. SAVE KPK mestinya mendorong KPK untuk membongkar Mega Skandal Century, yang bau nya sudah terasa hingga ke dalam Istana. Kasus Wisma Atlet dan Hambalang yang melibatkan sejumlah kader Partai Politik, mesti juga harus dituntaskan. Pengakuan Nazarudin, Yulianis, Rossa hingga BAP Anggie, harus bisa dijadikan dasar untuk seret para koruptor.
KPK selayaknya tidak hanya obral janji, omongan atau gertak yang akhirnya hanya dijadikan alat politisasi. Ingat KPK lembaga negara yang menangani extraordinary case, bukan LSM. KPK mesti lebih progresif, rakyat masih akan mendukung aksimu, bukan mendukung jargon-janjimu.
Kepolisian, memang harus berbenah, faksionalitas ditingkatan PATI dan manajemen sistem yang korup, mesti dituntaskan oleh Kapolri Timor Pradopo. Harus ada tindakan tegas terhadap internal PATI - PAMEN Kepolisian yang "disersi" bukan hanya kepada Novel Baswedan saja.
Saatnya Rakyat Cerdas, pemimpin bukan sekadar menduduki jabatan, namun pemimpin yang memiliki hati untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan egosentriknya.
Posting Komentar