Selamat datang di Flores Island

Budaya Masyarakat Flores Barat

Kamis, 20 Desember 20120 komentar




Banyak ceritera orang Manggarai mengenai asal usul mereka. Ada yang mengatakan keturunan Sumba, keturunan Turki yang lalu bermukim di Mandosawo, keturunan dari Bima di Sumbawa, Bugis Luwu di Sulawesi, Melayu Malaka dan Minangkabau. Kenyataannya tidak ada satu suku Manggarai tetapi orang Manggarai terdiri dari berbagai kelompok suku, sub suku atau klan. 

Masing-masing gelombang pendatang menempati wilayah tertentu dan dalam perkembangannya mengembangkan pusat kekuasaan dengan adat tersendiri. Asal keturunan Sumba yang tiba dalam beberapa gelombang misalnya menumbuhkan suku (adak) Bajo di bagian selatan sampai barat. Orang Mandosawu ber mukim pegunungan di dekat puncak gunung Mandosawo tetapi kemudian pindah ke tempat Mano sekarang di kaki pegunungan bagian utara. Salah satu tokoh suku yang dikenal sebagai
Suku Kuleng bernama Rendong Mataleso diakui sebagai nenek moyang aliansi adak Cibal, Lambaleda, dan Poka. 

Pendatang dari Minangkabau konon tiba di Flores di dekat Labuhanbajo di tempat yang namanya Warloka. Galian arkeologis di Warloka menemukan bukti permukiman prasejarah sejak palaeolitik, bangunan batu dolmen, menhir serta bukti hubungan dengan dunia luar berupa keramik Cina dari zaman Ming dan Cing. Orang-orang Minangkabau ini, di bawah pimpinan Karaeng Mashur, membangun adak Todo. Mereka bermukim di daerah Todo dan Pongkor sekarang. Di situlah, konon mereka bertemu dengan orang-orang asli yang menurut cerita bertubuh kecil, berbulu, dan tidak mengenal pakaian ataupun api. 

Konon di Komodo pernah tinggal suku asli Ata Modo. Namun, dengan datangnya orang Bima, Bugis dan Bajo tidak ada lagi orang keturunan asli Modo. Demikian suku-suku yang lain bercampur baur menjadi Suku Manggarai yang tidak lagi dapat dipisahkan. 

Sejak abad 11 Manggarai menjadi perebutan antara kesultanan Bima di Sumbawa dan Kesultanan Gowa di Sulawesi untuk memperoleh monopoli perdagangan. Meskipun secara nyata kekuasaan asing dirasakan hanya di pesisir, kedua penguasa ini meninggalkan pengaruh dalam bentuk struktur kekuasaan dan gelar. Di Reok dan Pota, keduanya kota kecil di pantai utara ditempatkanlah perwakilan Sultan Bima. Suku-suku yang sementara itu sudah mulai terorganisasi dalam aliansi suku menjadi kedaluan yang dikepalai seorang dalu yang terutama bertanggung jawab untuk mengumpulkan upeti bagi sultan Bima. Di bawah Dalu ditempatkan gelarang yang menguasai satu atau lebih wilayah tuan tanah (tu’a teno). Dalu maupun gelarang kebanyakan dipilih di antara tokoh adat. Kemudian, dalam perkembangannya menjadi gelar turun temurun. Letusan gunung Tambora tahun 1815 mematahkan kekuasaan Bima. Kesempatan ini dimanfaatkan beberapa Dalu besar untuk mencoba memperbesar kekuasaan. Terjadilah perebutan kekuasaan antaran Todo dan Cibal yang dimenangkan oleh Todo. 

Ketika Belanda datang di Manggarai pada awal abad 20 dan mengambil alih penguasaan atas Manggarai dari Bima, mereka menemukan dan meneruskan struktur administrasi pemerintahan tersebut. Sementara itu, masyarakat biasa kebanyakan masih hidup dalam kampung-kampung kecil yang terisolasi, yang umumnya terdiri dari beberapa rumah khas berbentuk bundar dengan atap kerucut di atas bukit yang mudah dipertahankan dari serangan musuh. 

Orang Manggarai pada dasarnya petani ladang meskipun di tempat-tempat yang memungkinkan banyak juga yang beralih kesawah. Kehidupan dan penghidupan terbentuk dari cara penguasaan dan pengelolaan lahan, yang umumnya pola ladang gilir.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Ebed Allan Derosary - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger