Selamat datang di Flores Island

Perebutan Pulau dan Laut: Portugis, Belanda dan Kekuatan Pribumi di Laut Sawu Abad XVII-XIX (Bagian 1)

Kamis, 20 Desember 20120 komentar

Oleh: Didik Pradjoko 2 

Pendahuluan 

Perkembangan dinamika politik dan ekonomi di Nusantara sejak abad ke-16 Masehi diwarnai oleh penetrasi bangsa Barat, akibat kedatangan bangsa Portugis pada awal abad ke-16, kemudian disusul oleh kedatangan armada Belanda dan Inggris yang datang pada akhir abad ke-16. Kedatangan armada dagang bangsa Barat ini telah membuat perubahan peta politik dan ekonomi di Nusantara, ketika dengan alasan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, mereka merebut pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara sebagai batu loncatan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Penguasaan Bandar Malaka oleh Portugis tahun 1511, kemudian menyusul Ambon, sementara armada dagang Belanda yang kemudian mendirikan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Perhimpunan Dagang Hindia Timur pada tahun 1602, mulai merebut Ambon dari tangan Portugis tahun 1605, merebut Bandar Jayakarta di muara Sungai Ciliwung pada tahun 1619 dan mendirikan kota Batavia di atas reruntuhan kota Jayakarta. 

Proses perebutan hegemoni ini tidak berhenti bahkan sampai abad ke- 19, sebagai dampak dari perebutan hegemoni politik dan ekonomi yang dilakukan oleh bangsa Barat tersebut berakibat munculnya resistensi atau perlawanan dari penguasa-penguasa pribumi yang ada di Nusantara. 
Kekuatan kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah, Kesultanan Gowa di Makassar, Kesultanan Ternate, Tidore, kekuatan lokal di Bali, juga Aceh tidak berhenti melakukan upaya perlawanan terhadap dominasi politik, militer dan ekonomi bangsa Eropa. Namun tentu saja kita dapat melihat bahwa kadangkala penguasa pribumi dapat mengalahkan kekuatan Eropa untuk sementara waktu, namun pada akhirnya kekuatan pribumi menghadapi kekalahan melawan kekuatan Eropa terutama dengan Belanda. Perang Makasar (1660-1667) yang begitu dahsyat antara armada maritim Kesultanan Gowa dengan armada VOC merupakan gambaran perang memperebutkan sumber-sumber ekonomi perdagangan rempah-rempah. 

Gambaran yang menarik diulas A.B. Lapian tentang perang dagang tersebut dalam tulisannya, “Perebutan Samudera: Laut Sulawesi pada Abad XVI dan XVII”.3 
Sebagai upaya penulis untuk memperjelas gambaran perebutan hegemoni politik dan ekonomi di Indonesia pada masa abad XVII-XIX, penulis mengambil wilayah Kepulauan di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di kawasan laut Sawu, sebagai upaya untuk mengetahui dinamika politik dan ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai usaha awal untuk melihat dinamika sejarah politik dan ekonomi di daerah yang termasuk dianggap wilayah ‘pinggiran’ tersebut. 

Awal Kehadiran Armada Portugis dan Belanda di Kawasan Laut Sawu Setelah menaklukkan Bandar Malaka, tahun 1511, kapal-kapal dagang Portugis berlayar menuju kepulauan Maluku dan Banda untuk mencari rempah-rempah. Sebagian kapal-kapal Portugis itu kadangkala bergerak tajam ke arah selatan ketika melewati Laut Flores atau Laut Banda. Mereka singgah di pulau-pulau yang menghasilkan kayu cendana putih yang tumbuh subur di sana. Jenis kayu ini sudah sejak lama menjadi barang dagangan yang dicari oleh pedagang-pedagang asal Cina dan dipakai sebagai bahan pembuatan dupa (joss-sticks), minyak wangi, dan peti mati yang berbau wangi. Harga kayu cendana ini di pelabuhan Kanton, bisa mencapai tiga kali harga di Pulau Timor.

Pada awal tahun 1515, kapal-kapal dagang Portugis secara rutin mengunjungi Pulau Timor untuk membeli kayu cendana. Penduduk Timor sangat antusias dengan para pedagang asing, terutama yang berasal dari daerah di Nusantara dan Asia. Mereka terdiri dari pedagang yang berasal dari Pulau Jawa, Melayu, dan Cina, kemudian disusul kapal-kapal dari Portugis dan Belanda. Namun para raja setempat (liurai) di Timor tidak mengijinkan para pedagang ini mendirikan pemukiman yang tetap di pantai-pantai Pulau Timor, mereka hanya boleh berlabuh di tempat-tempat yang sudah ditentukan untuk menukarkan barang-barang yang mereka bawa dengan kayu cendana. Akibat ramainya perdagangan kayu cendana, para liurai, pemimpin dari kerajaan-kerajaan lokal di Timor itu, kemudian mengambil alih kontrol atas perdagangan kayu cendana di pelabuhan-pelabuhan tempat pertukaran.5 

Sulitnya mendapat tempat berpijak di Timor, dan pentingnya memiliki daerah yang bisa dijadikan basis perdagangan untuk mendapatkan produkproduk dari Pulau Timor dan sekitarnya, membuat Portugis membangun basis di Pulau Flores. Dari tempat itu ke Timor membutuhkan waktu dua hari pelayaran. Di pulau Flores mereka membangun dua pemukiman di tepi pantai yang sangat strategis dan ideal sebagai pusat perdagangan, pertama, di Teluk Ende, di selatan Flores. Di sana Portugis membangun benteng pertahanan di karang-karang kecil dekat pantai. Tempat yang kedua adalah di Larantuka, dengan teluknya yang tenang karena dilindungi oleh dua buah pulau kecil. Pulau kecil yang langsung berhadapan dengan Larantuka adalah Pulau Adonara yang terletak hanya tiga kilometer di seberang laut dan sepuluh kilometer di selatan terletak Pulau Solor. Pelabuhan Larantuka adalah pelabuhan alam yang bagus karena terlindungi dari amukan badai. Daerah sekitar pantainya cukup subur, sehingga tanaman jagung yang ditanam oleh orang-orang Portugis tumbuh dengan baik di sana. Di lihat dari sisi pertahanan Larantuka juga sangat baik, karena meskipun ada blokade laut, penduduk dapat melintasi pedalaman dan menuju daerah pantai yang lain

Di pelabuhan inilah para pedagang membangun desa yang aman, dengan rumah-rumah yang tinggi dan kebun yang luas. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena muncul para bajak laut dari Jawa dan Sulawesi yang menjarah desa-desa di tepi pantai. Musuh yang lain dari Portugis di sana adalah kapalkapal Belanda yang mulai berdatangan sekitar tahun 1600 untuk mencari rempah-rempah dan juga pergi ke selatan Laut Flores untuk mencari kayu cendana.6 Selain Larantuka, Pelabuhan Solor juga sudah dikenal oleh para pelaut Portugis sejak 1515, mereka singgah di Solor terutama untuk beristirahat sambil menunggu lewatnya badai. Laporan pendeta Jesuit Balthasar Dias yang mengunjungi Solor pada tahun 1559 melaporkan adanya 200 pedagang dan pelaut Portugis yang beristirahat selama bulan Desember dan Januari untuk menghindari badai yang ganas. Kaum misionaris Dominikan datang ke Solor pada tahun 1561 mendirikan pemukiman dan gereja Katholik di sana, namun untuk keamanan mereka kemudian membangun benteng.7 
Pada tahun 1613, armada VOC menyerang benteng di Solor dan berhasil menghancurkan kekuatan Portugis di sana. 


1 Makalah dipresentasikan Konferensi Nasional Sejarah VIII pada tanggal 14-16 Nopember
2006 di Jakarta, diselenggarakan oleh Direktorat Nilai Sejarah , Direktorat Jenderal Sejarah dan
Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
2 Staf Pengajar pada  Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia
 3 Majalah Prisma, No. 11, 1984

4.Ronald Daus, Portuguese Eurasian Communities in Southeast Asia, ISEAS, Singapore,
1989,  hal.  41
5.Ibid, hal. 42
6. Ronald Daus, op. Cit., hal. 43-44
7.R. H. Barnes, ‘Avarice and Iniquity at The Solor Fort’, , Bijdragen Taal-en Land
Volkenkunde, Anthropologica, Deel 143, Foris publications Holland/USA, 1987, hal. 208-209 lihat juga
Ronald Daus, op. cit.,, hal. 44-45

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Ebed Allan Derosary - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger