Belanda mengirimkan dua kapal perang ‘der Veer’ dan kapal ‘de Halve Maen’, dibantu sejumlah kapal kora-kora dari Ternate. Orang-orang Portugis dan sebagian penduduk pribumi yang beragama Katholik mengungsi ke Larantuka. Dengan segera VOC membangun kekuatannya di Solor, namun terjadi hal yang menarik ketika komandan garnisun Belanda di sana membelot ke Larantuka dan menganut agama Katholik. Selain itu karena pulau Solor yang gersang dan beratnya persaingan dagang dengan pedagang Portugis yang secara teratur mengirim kapal dagangnya untuk mengangkut kayu cendana, membuat pemerintahan pusat VOC di Batavia memerintahkan pengosongan benteng di Pulau Solor pada tahun 1629. Pada tahun 1646 perhatian VOC terhadap Pulau ini muncul kembali dan menyerang benteng di Solor yang sudah dibangun lagi oleh orang-orang dari biarawan Dominikan. Kemudian VOC membangun benteng Fort Hendricus di Solor.
Benteng ini terletak di pantai Lohayong, bangunannya berbentuk trapesium dengan tinggi dinding 5 ½ meter, panjang 60 meter dan lebar 27 meter. Pelabuhan Solor ini dipakai oleh VOC untuk menyaingi Portugis dalam perdagangan produk-produk lokal dari Nusa Tenggara bagian timur. Selain itu pelabuhan Solor diharapkan oleh Belanda sebagai persinggahan yang penting bagi kapal-kapal VOC yang berlayar dari dan ke Maluku untuk membeli rempah-rempah dan juga sebagai pelabuhan yang dapat dijadikan pusat perdagangan kayu cendana. Persaingan ini berhenti ketika gempa besar melanda Solor tahun 1648, dan menyisakan puing-puing kehancuran di sana, dan untuk kedua kalinya orangorang Belanda akhirnya meninggalkan Pulau Solor.
Sejak itu selama hampir 200 tahun Belanda tidak lagi kembali ke Solor, sedangkan kaum biarawan Dominikan untuk yang kedua kali kembali membangun pemukiman dan gereja di Solor.8 Kehancuran akibat gempa yang melanda Solor tahun 1648, disaksikan oleh Major Willem van der Beek dan awak kapal “den Wolff” yang berlabuh aman di selat Solor. Dari atas geladak kapal mereka bisa melihat dinding benteng Fort Hendricus roboh rata dengan tanah. Dinding besar itu tercerabut ke luar dari atas tanah. Meriam-meriam terlempar dari dinding bastionnya. Dalam gempa tersebut empat orang Belanda terbunuh termasuk anak dari komandan benteng Hendrik ter Horst dan sembilan lainnya terluka. Guncangan gempa berlangsung sampai beberapa hari sehingga usaha perbaikan yang dilakukan menjadi sia-sia. Gempa besar ini membuat VOC kemudian menarik diri dari Solor.9 Keinginan Portugis untuk tetap mempertahankan benteng dan kegiatan perdagangannya di Solor memang tetap besar, meski ancaman dari Belanda datang terus-menerus. Laporan pedagang Portugis di Makau, Antonio Bocarno tahun 1635, menekankan pentingnya hubungan perdagangan dengan Solor yang menghasilkan kayu cendana.
Portugis harus berbuat banyak untuk menguasai jalur perdagangan kayu cendana dari tempat asalnya yaitu Timor, karena keuntungan yang diperoleh dari penjualan kayu cendana kepada pedagang-pedagang Cina di Makau dapat mencapai 100- 150%. Hasil keuntungan ini dapat dinikmati oleh pemerintah Portugal di Makau yang dipakai untuk membangun perbentengan yang lebih kuat di Makau. Namun pada tahun 1660 ketika armada VOC atau Belanda sedang melakukan penekanan militer terhadap Makasar, hanya ada sedikit kapal Portugis yang mengunjungi Timor.10
Perebutan Hegemoni Politik dan Ekonomi Setelah kepergian armada VOC meninggalkan Solor, Pelabuhan Larantuka berkembang makin pesat. Kapal-kapal dari Jawa dan Cina secara rutin menyinggahi pelabuhan tersebut. Terlebih lagi Larantuka menjadi tempat pengungsian orang-orang Portugis dari malaka yang direbut oleh VOC tahun 1641. Larantuka telah menjadi salah satu dari dua pusat kekuasaan Portugis di wilayah Timur Jauh, setelah Makao. Para imigran juga membangun dua pemukiman baru, pertama, mereka membangun tempat pemukiman di Pulau Adonara, yaitu di Wureh, kedua, pembukaan pemukiman baru dilakukan di Konga, sekitar 20 kilometer arah selatan Larantuka. Mereka kemudian membangun komunitas masyarakat baru dan menikah dengan wanita-wanita setempat.11
Mereka ini kemudian dikenal dengan orang Topas12 atau orang Belanda menyebutnya Zwarte Portugeesen atau Portugis hitam, yang memang bisa dikenali dari kulit mereka yang berwarna gelap. Namun orang-orang yang tinggal di Larantuka, Konga dan Wureh menyebut diri mereka dengan sebutan Larantuqueiros atau orang dari Larantuka. Orang Topas ini merupakan campuran antara penduduk setempat dengan para pendatang yang menggunakan bahasa Portugis, seperti para serdadu, budak dari India dan Afrika yang sudah dimerdekakan, bekas pegawai VOC yang melarikan diri.13
Pemimpin orang-orang Larantuka dipegang oleh dua keluarga yang terkenal di sana, pertama, keluarga da Costa yang berasal dari keturunan orang-orang Portugis dan bangsawan dari Timor, kedua, keluarga da Hornay, keturunan Hornay bekas komandan VOC di Solor yang membelot ke Larantuka.
8. R. H. Barnes, loc.
cit.,,, hal. 216-217
9.Ibid., hal. 208
10. Geoffrey C. Gunn,
Encountering Macau: Portuguese City State on the Periphery of
China, 1577-1999, Westview Press, Oxford, 1986, hal.
25-26
11. Ronald Daus, op. cit., hal. 45-46.
12 Menurut Daus, kata topas berasal dari bahasa Hindi topi atau penutup kepala, dan kata tupassi dalam bahasa Tamil, keduanya mengacu pada sebutan untuk menjelaskan sekelompok orang yang memiliki hak istimewa untuk mengenakan pakaian Eropa namun menggunakan bahasa setempat
Lihat Ronald Daus, op. cit., hal. 45-46
13.A.B. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah Bahari: Sejarah Kawasan Laut Sawu, Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa FSUI,4 Maret 1992 hal. 24
Posting Komentar