Oleh : Putu Fajar Arcana & Khaerul Anwar
Para
perempuan Lombok memang liat. Mereka berani menantang badai hidup
dengan modal keterampilan warisan tradisi. Terciptalah kendi, vas bunga,
periuk, piring, gentong, mangkuk, anglo, tempat lilin, dan benda-benda
lain dari gerabah yang cantik. Semua benda itu kini dipajang di gerai
seni dan galeri.
Sore di awal Juli 2012 sudah redup. Kemarau
seperti menaburkan debu di Dusun Banyumulek, Kecamatan Kediri, Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, Zaetun (32) tampak beringas. Ia
menginjak-injak adonan tanah liat dan pasir sembari mengomel dalam
bahasa Sasak.
”Kalau saja dia berani pulang, pasti saya
injek-injek,” katanya ketus. Adonan tanah dan pasir itu akan ia sulap
jadi piring pesanan seorang pedagang pengumpul. Namun, bukan di situ
persoalannya. Sejak hampir 8 tahun, Rusman, sang suami, tak pernah
berkabar setelah menjadi buruh migran di Malaysia. ”Sekalinya berkabar
yang call perempuan yang mengaku istri mudanya. Sakit, sakit, sakit
saya…. Lihat anaknya sudah 8 tahun,” kata Zaetun sambil menunjuk anak
perempuannya.
Zaetun tak sendiri. Tak jauh dari situ, Inaq Ramiah
(60) sedang menghaluskan piring-piring bikinannya sambil bersandar ke
gubuk yang reyot. Ramiah juga sudah lama bercerai dengan suaminya.
Tetangganya, Nikmatul Hasanah (39), juga bernasib serupa. Sudah beberapa
tahun Nikmatul ditinggalkan suaminya bekerja sebagai buruh migran di
Arab Saudi. ”Ya, saya cuma bisanya memande ini, meski suami masih kirim
uang,” tutur Nikmatul. Memande yang dimaksud tak lain adalah membuat
gerabah.
Tak beda juga dengan Yanti (32), penenun songket dari
Desa Sukarara, Lombok Tengah. Sudah lama ia hidup menjanda dengan
seorang anak. Hidupnya kini ditopang keterampilannya menenun songket di
sebuah gerai seni (artshop). Untuk sehari kerja, Yanti bisa mendapatkan
uang sebesar Rp 10.000. ”Cukup buat beli sabun saja,” katanya.
Pilihan sulit
Data
dari Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan, Lombok Barat
tahun 2011, dari 2.205 keluarga di Desa Banyumulek, setidaknya terdapat
150 kepala keluarga hidup menjanda. Data lain menyebutkan, dari 10.000
jiwa lebih penduduk Banyumulek, lebih dari 400 perempuan hidup menjanda
karena berbagai alasan.
Umumnya ditinggal suami yang merantau ke
Malaysia. Karena itu, di Lombok umum dikenal istilah ”jamal” alias janda
Malaysia. Tak ada pilihan untuk meneruskan hidup bersama sanak keluarga
di kampung, kecuali mengolah tanah menjadi gerabah. Itulah keterampilan
yang mereka warisi secara turun- temurun.
Kenyataan ini memang
pahit. Menurut Nurul Aini (42), Ketua Yayasan Kesejahteraan Sosial dan
Pemberdayaan Perempuan Al Mubarok, Desa Banyumulek, Lombok Barat,
perempuan di desanya memang harus menghadapi pilihan sulit. Mereka hidup
dalam kemiskinan yang terwariskan, ditambah pula suami yang pergi
menjadi buruh. ”Praktis mereka yang menjadi tulang punggung keluarga
selama suami pergi, syukur-syukur kalau kembali,” kata Aini.
Kalau
toh suaminya ada, pekerjaan membuat gerabah tetap dilakukan oleh para
perempuan. ”Kalau lelaki biasanya disebut banci,” katanya. Bisa jadi
istilah ”banci” itu muncul karena lelaki enggan mengambil pekerjaan yang
secara turun-temurun dianggap bagian dari pekerjaan perempuan. ”Inilah
yang saya kikis terus supaya terjadi keseimbangan dalam pembagian
pekerjaan di rumah tangga,” ujar Aini.
Umumnya, para lelaki di
Lombok, terutama di Banyumulek, cuma ambil bagian mengangkut atau
memikul gerabah ke pasar-pasar untuk dijual. Hal itu, misalnya,
dilakukan Fajri (50), yang dua hari sekali menjual celengan ke Pasar
Cakranegara, Lombok. Selebihnya, mereka bekerja secara serabutan ke
sejumlah daerah dan kota. Pilihan para lelaki kebanyakan menjadi buruh
migran di Malaysia atau Arab Saudi.
Meskipun pernah mengalami bom
gerabah di era tahun 1990-an, rata-rata rumah warga Banyumulek tergolong
sederhana. Mereka selalu memasak di halaman rumah dengan tungku darurat
atau di beranda, jadi satu dengan tempat membuat gerabah. Tak jarang
kasur digelar di ruang tamu, sementara kamar tidur (kalau ada) digunakan
untuk menyimpan gerabah.
Sebutlah Rudi’ah (60-an), satu-satunya
perempuan yang mampu mendesain ceret (kendi) maling. Meskipun sudah
puluhan tahun menjadi perajin, bahkan sampai stroke, Rudi’ah tak pernah
beranjak dari kemiskinan. Rumahnya berada di tengah dusun dengan akses
jalan yang sempit dan berlantai tanah. Tidak jelas lagi mana ruang
tidur, ruang kerja, dan dapur. ”Cuma ini yang saya warisi untuk hidup,”
kata Rudi’ah yang sudah lama ditinggal suami.
Budayawan Lombok, M
Yamin, mengatakan, tingkat keterampilan perempuan Lombok tidak kalah
dari keterampilan perempuan di daerah Bali, misalnya.
”Namun, itu
baru sebatas pencapaian individual yang didasari motivasi ekonomi, bukan
dicapai dengan landasan gerakan kultural,” katanya.
Menurut
Yamin, seharusnya ada semacam pemberdayaan, terutama terhadap perempuan,
sehingga keterampilan warisan tradisi itu memiliki nilai tawar yang
lebih tinggi di mata industri.
Hebatnya, kemiskinan dan realitas
hidup yang keras justru membuat para janda ini terus menggeliat
menyiasati hidup. Mereka bekerja mengolah tanah dan tidak menyerah meski
berjam-jam duduk demi menghasilkan Rp 400 untuk satu piring tempat
sambal kecil. Bahkan, untuk vas bunga setinggi satu meter, mereka hanya
menghasilkan Rp 15.000 dan itu dikerjakan selama lima hari.
Padahal,
benda-benda yang diproduksi di gang-gang kumuh itu kemudian dijajakan
di gerai-gerai seni di Bali dengan harga berkali-kali lipat. Di mana
keadilan? Seperti kompak, para janda itu menjawab, ”Hanya ini yang kami
punya. Selebihnya silakan dinikmati hasilnya.”
Ungkapan pasrah, tetapi tak menyerah….
Sumber : kompas.com
Posting Komentar