
Oleh Bayu Dardias
Mungkin sudah saatnya perumpamaan koruptor dengan tikus diganti.
Selain
tak tepat, personifikasi tikus cenderung menyesatkan, terutama bila
dikaitkan peristiwa-peristiwa terakhir. Koruptor lebih tepat diibaratkan
singa yang berkuasa. Tikus dipersonifikasi sebagai binatang kecil,
mencuri remah-remah dan akhirnya lari terbirit-birit saat kepergok
manusia. Dengan sapu tikus bisa diusir, dan dengan jebakan tikus bisa
dimusnahkan.
Namun, koruptor di negeri ini sama sekali tak mirip
dengan personifikasi tikus. Koruptor tak mencuri sisa ikan di tempat
sampah, tetapi mengambil porsi utama di meja makan, bahkan di dapur yang
belum sempat dihidangkan. Jebakan, seandainya tertangkap, toh hanya
sementara. Setelah satu atau dua tahun, koruptor tetap dipromosi
menduduki posisi penting sebagai kepala dinas, yang membawahi ratusan
bahkan ribuan birokrat.
Jika tikus langsung lari ketika ada suara
gerakan kaki manusia, tak demikian dengan koruptor Indonesia. Tak
seperti di negara lain, koruptor Indonesia malah menggelar konferensi
pers dengan kepala tegak, dengan jas mahal yang dibeli dari hasil
korupsi. Didampingi pengacara- pengacara top, yang membentuk tim dengan
spesifikasi tugas yang rumit, koruptor kita siap menghadapi proses
hukum.
Jika koruptornya perempuan, tiba-tiba hadir dengan jilbab
besar dan cadar. Cadar yang selama ini sering dipakai penganut Islam
taat di Timteng berubah jadi pakaian utama koruptor perempuan.
Lagi-lagi, tetap didampingi tim pengacara andal. Jika lari ke luar
negeri, koruptor kita pun tak malu-malu menggelar konferensi pers.
Pernyataannya ditayangkan berulang-ulang di stasiun televisi, dianggap
sebagai kebenaran.
Jika koruptor yang dibidik adalah orang penting
dalam institusi dengan semangat korps kuat, perlawanannya berubah jadi
institusional. Akibatnya, proses antikorupsi yang awalnya menyasar
oknum berubah jadi konflik antarinstitusi. Lagi-lagi dengan kerumitan
hukum yang tak dimengerti oleh masyarakat.
Jika Polri menuntut
KPK dan katakanlah menang, tak jelas dana dari mana untuk membayar
ratusan miliar rupiah tuntutan. Baik KPK maupun Polri dibiayai oleh
APBN. Lalu apakah akan terjadi perputaran uang dari APBN di KPK ke APBN
Polri? Lalu, apakah Polri menjadi punya tambahan dana dari
keberhasilannya menuntut KPK?
Jika ini benar terjadi, seluruh
institusi—termasuk 530 lebih daerah otonom—akan punya alternatif baru
menambah anggaran, yaitu menuntut daerah lain. Ratusan konflik
perbatasan antardaerah dapat jadi alternatif pundi-pundi anggaran,
selain pemasukan daerah dari pendapatan asli daerah. Daerah tak perlu
lagi lobi ke pusat untuk menaikkan anggaran. Semua bisa dilakukan
melalui proses hukum. Bukankah Indonesia negara hukum? Jadi, semuanya
bisa dicapai dengan hukum, termasuk menambah anggaran. Ini tentu
berbahaya.
Kita jadi kehilangan semangat berbangsa dan bernegara.
Indonesia raya mengerdil menjadi institusi, institusi kita. Itulah
yang sekarang dipraktikkan Polri sebagai penegak hukum di Indonesia
ketika menggugat KPK.
Rasional dan institusional
Koruptor
di negeri ini sudah menjelma kuasa. Terlalu lama tikus-tikus itu
dibiarkan sehingga tak hanya menguasai keranjang sampah dan sisa
remah-remah, tetapi dia sudah menguasai seluruh rumah. Koruptor itu jadi
tuan di rumah Indonesia setelah setahap demi setahap menguasai dapur,
meja makan, ruang keluarga, kamar, dan ruang tamu.
Koruptor
berpikir dengan sangat rasional. Mereka mengalkulasi untung-rugi
melakukan korupsi. Jika risiko korupsi (jika tertangkap) lebih kecil
dibandingkan keuntungan yang didapat, korupsi terus terjadi. Biaya modal
yang diperhitungkan koruptor adalah biaya pengacara, kepala rutan agar
bisa izin berobat, hakim, dan jaksa. Beda ceritanya jika hukuman
koruptor adalah hukuman mati. Berapa pun keuntungan korupsi, tak ada
gunanya jika toh akhirnya mati.
Institusi-institusi telah dikuasai
koruptor yang menciptakan pola kerja institusional yang mendukung
korupsi. Mereka yang tak terlibat akan terlihat aneh dan unik dan
menyalahi norma korupsi yang telah menjadi norma institusi. Masyarakat
antikorupsi kemudian tersingkir dan terus coba merebut kembali rumah
Indonesia yang telah dikuasai tikus-tikus pemimpin yang menjelma singa
kuasa. Usaha ini tidak mudah, tetapi akan terus dikenang sejarah.
Indonesia
pernah punya cerita indah pemimpin yang tak mengeruk keuntungan
pribadi. Bung Hatta tak memberi tahu Bu Rahmi tentang kebijakan sanering
sehingga uang yang dikumpulkan jadi tak cukup membeli mesin jahit.
Bung Karno, ketika di luar negeri, pernah berurusan dengan ongkos taksi
yang jumlahnya tak besar. Sudah saatnya kita singkirkan tikus-tikus
kuasa dari rumah Indonesia.
Bayu Dardias Ketua Klaster Penelitian Governance dan Korupsi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM

Posting Komentar