
Roch Basoeki Mangoenpoerojo
Blusukan”
adalah kinerja yang fokus di lapangan dengan dukungan administrasi yang
baik. Naik turun bus reyot, memandangi tumpukan sampah di kali, masuk
riol, menyapa rakyat yang terpinggirkan, malah melantik wali kota di
tengah gubuk kumuh.
Jokowi dianggap tebar pesona seperti SBY.
Ketika ingin tahu ke- kuatan rakyat, saya juga blusukan puluhan tahun di
lokasi transmi- grasi dan permukiman kumuh. Tuhan ada di situ, kata
Bung Kar- no.
Kinerja blusukan juga dilakukan oleh banyak kepala
daerah. Wali kota Surabaya, misalnya. Kinerja demikian terasa aneh bagi
orang Jakarta/nasional yang suka melihat pejabat arogan, main panggil,
perintah, marah. Bentuk kepemimpinan versi Jawa: nimbali, dawuhi,
dukani. Lantas, layakkah gaya kepemimpinan 100 hari Jokowi ini
diteruskan?
Kebutuhan rakyat
Untuk
memelihara binatang dan tanaman, literatur mengajarkan bahwa makhluk
itu suka diajak bicara bersahabat. Mereka tak hanya membutuhkan makanan,
air, dan pupuk, tetapi juga butuh belaian kasih si pemeliha- ra.
Semakin disayang, tanam-tanaman akan lebih subur dan sehat daripada cuma
disiram atau dipupuk sehebat apa pun.
Apalagi manusia! Kasih
sayang dan dimanusiakan [bagi masyarakat terjajah] merupakan kebutuhan
primer sebelum masuk wilayah human needs Maslow. Itulah makna blusukan,
memanusiakan manusia sambil sesekali bersikap tegas terhadap pihak yang
memarjinalkan manusia, yang tak lain tak bukan birokrat yang sok kuasa,
pengusaha yang sok kaya, dan geng-geng yang sok kuat.
Dengan
blusukan ke lapangan ataupun dunia maya, Jokowi dan Basuki yang
non-Jakarta sangat cepat menguasai permasalahan DKI dan menemukan
hakikat masalahnya. Dari hakikat itu, mereka berani bikin keputusan yang
paling dramatis sekalipun. Ke dalam: penetapan UMR misalnya. Ke
samping: tanggap mendatangi gubernur Jawa Barat dan Banten, wali kota
ataupun bupati daerah sekitar DKI. Ke atas: ditawarnya keputusan pusat.
Enam tol dalam kota ditolak, negosiasi bersama-sama menanggung MRT,
semuanya dengan logika, bukan kekuasaan.
Ke birokrat, iklim
pemecatan amat terasa. Semua untuk menggerakkan partisipasi masyarakat
secara berkesinambungan supaya mereka menjadi bagian dari solusi apa
pun: banjir, kemacetan, dan sebagainya.
Rakyat suka menerimanya.
Pendekatan itu menunjukkan hasil meski ada pihak-pihak yang dirugikan.
Birokrat sulit korupsi, pengusaha tersudutkan oleh besaran upah minimum
regional, kelompok penekan mau tak mau tenang. Car free night, malam
bebas kendaraan, yang meriah dan tertib merupakan wujud pesta
bertahunbaruan yang sesungguhnya bagi masyarakat.
Sebenarnya
banyak cerita rakyat tentang blusukan. Anak raja diharuskan blusukan
sebelum menjadi pemimpin, misalnya dalam ”Cinde Laras”. Anak raja itu
menempuh kehidupan menjadi ”budak” dalam masyarakat. Ketika ada
sayembara di alun-alun, dia muncul dan jadi pemenang. Kemudian diketahui
bahwa dia anak raja itu sendiri.
Para pendiri negara RI pun
memosisikan dirinya seperti Cinde Laras. Tak mau hidup mewah jadi
pegawai Pemerintah Belanda. Mereka justru blusukan ke desa-desa:
mendidik. Hasilnya adalah spontanitas rakyat untuk sadar merebut
kedaulatan.
Bergolak tanpa perintah di Surabaya, Ambarawa, Bojong
Kokosan, mereka menghentikan invasi Sekutu. Jenderal Sudirman pun
melanjutkannya. Klimaksnya ”merdeka atau mati” di seluruh pelosok
negeri. Jadi, berkat partisipasi rakyat, kita merdeka. Kini apalah
artinya banjir dan kemacetan dibandingkan dengan merebut kedaulatan
negara.
Ada enam prasyarat blusukan. Pertama, cinta kepada rakyat
banyak yang kumuh dan siap melayaninya dengan konsisten. Kedua, peduli
pada tata ruang dan punya konsep solusi. Ketiga, tak dikendalikan uang,
justru mampu mengendalikannya. Keempat, tahu kekuatan masyarakat dan
lingkungan serta mampu menggerakkannya: intervensi sosial. Kelima,
menguasai pendekatan komprehensif: interkorelasi, interdependensi,
interdisiplin. Keenam, disiplin pada tujuan dalam UU ataupun UUD.
Begitulah kata pengalaman. Semoga pejabat DKI memenuhinya agar warga DKI secepatnya bisa berpartisipasi dalam segala solusi.
Blusukan,
kosakata baru ini, semoga menjadi kunci perubahan yang harus dilakukan
semua pejabat di negeri bekas jajahan ini. Hai, para calon presiden,
cintailah rakyatmu, ajaklah mereka bicara santai. Namun, untuk itu, Anda
harus pula memahami manajemen dan persyaratannya agar tidak diolok-olok
sekadar menjadi tebar pesona.
Roch Basoeki Mangoenpoerojo Purnawirawan TNI, Anggota Presidium Barisan Nasional
Posting Komentar