Oleh : Sumardi
Tidak lama lagi NTT akan memilih pemimpin baru. Hiruk pikuk dan
dinamika politik saat ini pun semakin hangat. Ada banyak timses
mempromisikan jagoannya. Ada banyak spanduk, baliho dan stiker
bertebaran di seluruh saentro NTT. Lalu seperti apakah pemimpin NTT masa
depan yang kita harapkan?
Ibarat adu lari, NTT sudah kalah sejak pistol star diletuskan. Teknik
berlari yang sudah kuno, membuat “pelari” NTT tertinggal jauh di
lintasan. Untuk mengejar ketertinggalan, “pelari” NTT memerlukan teknik
baru agar dapat berlari tiga kali lebih cepat.
Teknik baru dalam berlari, hanya mungkin lahir jika NTT memiliki
pemimpin yang visioner. Seperti apa pemimpin visioner itu? Bung Hatta
yang direkam oleh tinta Sejarah kilas tapak perjuangannya, pernah
mengemukakan syarat seorang pemimpin visinoner dalam satu kalimat yang
lugas namun memiliki sejuta makna yang mendalam yaitu: iman yang teguh,
watak yang kukuh dan urat saraf yang kuat.
Disamping itu pemimpin visioner adalah pemimpin yang mempunyai
komitmen kerja cepat, kerja cerdas dan yang tak kalah penting adalah
kerja tuntas serta bekerja cepat seperti mata. Ia bukan sekadar mata
yang bergerak secara acak, melainkan harus menjadi mata yang jeli
melihat sesuatu yang belum terlihat atau bahkan sama sekali tidak
terlihat rakyatnya. Bukan itu saja, ia pun sanggup menyakinkan dan
mengajak rakyatnya untuk memperjuangkan pandangan masa depannya dengan
penuh optimisme
Untuk menjadi pemimpin bermata jeli, seorang pemimpin harus
berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu
menumbuhkan harapan. Mari kita elaborasi serba sedikit soal ini.
Pertama, berkarakter. Pemimpin berkarakter
sudah barang tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan
pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas
kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya
itu.
Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa
depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan
perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang
pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.
Kedua, kredibilitas. Ini menyangkut
komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang
pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin
dengan mental “tempe”, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil
keputusan diantara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna.
Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula berkuasa siap
mempertanggungjawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Ia lebih
suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa
yang patut disalahkan.
Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin
seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam
kedaaan kritis. Selain tentu, saja kredibilitas juga menyangkut aspek
kecakapan dan ketrampilan tehnis memimpin.
Ketiga, inspirasi keteladanan. Boleh jadi
ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk
kita temukan kini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi
sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan
terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasaannya
yang terdekatnya. Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara
otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya
seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan.
Keempat, menumbuhkan harapan. Kita tahu
tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah kini begitu rendah.
Pemerintah seperti bebek lumpuh yang kehilangan daya. Alih-alih mampu
menggugah dan mengerakkan rakyatnya, bahkan niat baik pemerintah pun
acapkali disalahpahami oleh rakyatnya sendiri. Pemimpin yang memberi
harapan adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh
kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya
seolah-olah sebagai harapan rakyatnya.
Ada adigium yang menyangkut soal ini: “Kebijakan dan tindakan seorang
pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan
kesejahteraan mereka. Jelaslah sudah, seorang pemimpin yang melalaikan
kewajibannya mensejahterakan rakyatnya teramat dicela, sebab ia gagal
menumbuhkan harapan bagi rakyatnya.
Titik sentral perubahan di NTT ada pada kepemimpinan. Carut-marut
keadaan ini kian tidak menentu ujung-pangkalnya lantaran daerah ini
sedang landa tsunami krisis kepemimpinan. Kita tidak pernah kekurangan
penguasa. Buktinya, setiap musim pemilihan tiba, stok calon penguasa
berlimpah adanya. Tetapi kita jelas sedang dihantam paceklik panjang
kepemimpinan. Apa buah dari paceklik ini? Taruhan terbesarnya ada pada
kesinambungan pembangunan. Selama ini, kegagalan kita membangun bukan
karena kita gagal membangun, tetapi lebih karena kita gagal
mempertahankan kesinambungan pembangunan.
Para penguasa yang datang silih berganti, seperti tidak punya benang
merah yang mempertautkan mereka. Inilah buah dari cara penguasa
mengelola pembangunan yang hampir sepenuhnya memaknainya sebagai struggle for power
belaka. Pembangunan katanya, adalah urusan politik lima tahunan masa
berkuasa. Pandangannya sebagai penguasa begitu terbatas karena sekat
politik yang ia buat sendiri.
Cara pandang yang terlalu politik dalam melihat pembangunan jelas berdampak destruktif. Pertama, membuat banyak penguasa berfikir dengan cara apapun ia harus kembali berkuasa. Kedua,
penguasa baru biasanya akan menumbang-rubuhkan bangunan yang
diwariskannya dari penguasa lama. Apa yang sudah baik tidak dilanjutkan.
Apa yang buruk, tidak jadi pelajaran. Di sini ada semangat tumpas kelor
yang mematikan kesinambungan pembangunan.
Dalam konteks pemimpin yang visioner, jelas cara pandang mengelola
pembangunan harus diubah. Pembangunan harus dimaknai sebagai isu
manajemen. Yakni, bagaimana seorang pemimpin melakukan proses pembanguan
yang berkeadilan dan berkesinambungan. Apapun alasannya, siapapun yang
memerintah dan apapun tantangannya, isu utama seorang pemimpin bukan
lagi struggle for power, melainkan bagaimana ia mengoptimalkan
aset yang ada untuk menciptakan kesinambunagn kemajuan. Ini penting
sekali, agar arah pembangunan dalam skala apapun tidak kehilangan
visinya. Pemimpin yang visioner tidak boleh membuat rakyatnya galau,
gelisah, lalu bertanya-tanya dengan hati gundah: mau dibawa kemana
gerangan kami ini?
Mengapa kita perlu pemimpin yang visioner? Pemimpin yang mengelola
pembangunan sebagai proses pembentukan nilai yang berkeadilan dan
berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan?
Sederhana saja jawabannya, tanpa semua itu pemimpin akan gagal mengajak
rakyatnya untuk bergerak untuk mengatasi carut-marut keadaan. Rakyat
yang enggan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya
kepemimpinan. Di sana tidak muncul pemimpin berkarakter kuat, punya
kredibilitas terjaga, sanggup menjadi inspirasi keteladanan dan mampu
menumbuhkan harapan.
Dalam carut marut keadaan kita terus bermimpi datangnya pemimpin yang
membawa perubahan. Tetapi apa boleh buat yang ada baru sekadar pemimpin
yang pandai menjual mimpi-mimpi politik serta lihai dalam mencari
simpati rakyat.
Kita belum menemukan pemimpin yang punya kerendahan hati, seperti Abu
Bakar yang berkata menjelang pelantikan dirinya sebagai Pemimpin, Saya
bukanlah yang terbaik di antara kalian, maka jika kalian ketahui saya
benar, bantulah saya. Dan jika kalian ketahui saya menyeleweng, luruskan
saya.
Penulis : Ketua DPD PKS Manggarai Barat
sumber ; www.floresbangkit.com
Posting Komentar