
Sebuah makalah yang ditulis oleh Drs. Abdul
Haris, MA, mantan peneliti di PSKK UGM. Makalah ini disampaikan dalam
agenda diskusi bulanan PSKK UGM pada 22 Agustus 2002.
Pengantar
Rasanya
tidak terlalu sulit untuk menebak arah kebijakan politik dan ekonomi
Malaysia dalam konteks tenaga kerja internasional. Malaysia yang
dibesarkan di bawah ketiak pekerja migran internasional sebenarnya tidak
mampu untuk mendirikan “tenda perlindungan” apalagi gedung megah
seperti yang terlihat sekarang tanpa kehadiran tenaga kerja asing.
Sebuah ironi di mana perubahan drastis dari komunalisme ekonomi ke alam
modernisasi telah melumpuhkan rasa terima kasih sebuah negara bangsa
yang dibesarkan dan dibina oleh sebagian besar pekerja asing di hampir
seluruh lini pembangunannya. Sebuah alasan politis yang sebenarnya telah
menciptakan jebakan politik bagi hubungan-hubungan ekonomi sosial dan
politik regional atas nama stabilitas dan keamanan dalam negeri. Akan
tetapi, patut pula dipertanyakan tidakkah stabilitas ekonomi nasional
baik dalam konteks negara asal maupun negara tujuan, juga telah
diperkuat oleh aktivitas migrasi yang berlangsung dalam volmue tinggi?
Jika aktivitas migrasi yang berlangsung selama ini telah memberikan
kontribusi besar dalam proses pembangunan, lalu kenapa tidak ada satu
penghargaan pantas yang pernah diberikan kepada para pekerja migran?
Negara
penerima dan sekaligus pengguna jasa tenaga kerja asing, dari sudut
pandang internasional telah melakukan tindakan pemerasan dan ekploitasi
berlebihan terhadap para pekerja. Sebuah tindakan yang tidak dapat
dipandang sebagai respon positif atas kehadiran dan jerih payah pekerja
tidak terkecuali tenaga kerja Indonesia. Di sisi lain, pemerintah negara
asal juga telah melakukan tindakan “kejahatan” dengan
mendiskriminasikan proses perlindungan dan administratif tenaga kerja
internasional lewat terminologi “haram” –“halal” atau “legal” dan
ilegal”.
Tulisan
ini mencoba memberikan fakta di balik aktivitas migrasi internasional
yang berlangsung dari Indonesia dan khususnya dari Pulau Lombok-Nusa
Tenggara Barat. Tanpa bermaksud menempatkan kebijakan pemerintah dalam
program penempatan tenaga kerja luar negeri dalam posisi yang paradoks,
tulisan ini juga dimaksudkan untuk memberikan koreksi pada kebijakan
perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang jauh dari
harapan. Kehadiran tangan pemerintah yang tidak efektif kecuali sebagai
simbol kepedulian semu pemerintah di negara tujuan, telah melemahkan
tingkat bargaining tanaga kerja Indonesia terutama di kalangan pengguna
jasa tenaga kerja. Lebih spesifik tulisan ini menyoroti persoalan
migrasi tenaga kerja Ind onesia yang melakukan aktivitas ekonomi
produktif di negara-negara Asia-Pasifik khususnya Malaysia. Sebagai
sebuah sebuah stimulan, tulisan ini juga dimaksudkan untuk memberikan
wacana perdebatan tentang bagimana pekerja migran internasional
ditempatkan lebih layak di dalam hubungan-hubungan relasional kebijakan
pembangunan yang lebih luas.
Migrasi Internasional dan Mitos Kemiskinan
Berbicara
soal migrasi internasional mungkin tidak terlalu menarik jika dilihat
hanya pada tataran permukaan sebagai sebuah gejala perpindahan penduduk
yang melibatkan aspek-aspek ruang dan waktu. Akan tetapi, persoalan
tersebut akan menjadi sebuah fenomena besar jika mengkaji substansi
persoalan yang menyebabkan gejala tersebut muncul dan berkembang. Oleh
karena itu, fenomena migrasi yang berlangsung khususnya dalam konteks
global atau internasional tidak dapat dipahami hanya dengan
mengoposisikannya di dalam terminologi negatif atau positif (IOM, 2000).
Persoalan tersebut juga tidak dapat disederhanakan dengan menempatkan
aktivitas migrasi ke dalam sistem ekonomi sederhana yang menempatkannya
di dalam suatu kontak keuntungan material yang menghasilkan atau
memberikan tekanan pada perubahanperubahan harga produksi.
Persoalan
stereotif konseptual, migrasi selalu dipandang sebagai sebuah respon
rasional atas kemiskinan di daerah asal. Realitas ini paling kurang
mendapat pembenaran-pembenaran empirik di dalam berbagai kajian yang
telah dilakukan terutama di negara-negara berkembang (Hugo, 1982, 1993,
1996; Mantra, dkk, 1999, 2001; Meier, 1995; Todaro, 1995, 2000: Zlotnik
1992, 1998). Namun demikian, kenyataan yang selalu tidak pernah
terungkap adalah bagaimana sebuah aktivitas migrasi yang berlangsung
antar daerah atau antarnegara telah menciptakan perubahan-perubahan
struktural yang membawa sebuah wilayah ekonomi dan politik suatu negara
ke tingkat yang lebih baik dari sebelumnya. Di samping itu, Aktivitas
migrasi yang terjadi tersebut juga telah mampu menarik aktivitas
etno-ekonomi ke dalam wilayah-wilayah yang jauh lebih luas, dalam
konteks politik, sosial maupun kultural. Aktivitas ini bahkan telah
menciptakan pengaruh kuat pada pola hubungan global yang bersifat
mutualisme antara negara-negara terkait.
Namun
demikian, mitos kemiskinan yang melekat pada aktivitas migrasi tersebut
nampaknya ikut memberikan warna di dalam perkembangan fenomena migrasi
yang terjadi. Kondisi ini secara umum telah melamhkan posisi migran di
dalam seluruh proses aktivitas pasar kerja, baik di tingkat lokal,
nasiopnal, maupun internasional. Buruknya posisi tawar pekerja migran
tersebut diperburuk lagi oleh kebijakan penempatan tenagakerja
internasional yang tidak memiliki dasar hukum cukup kuat untuk
memberikan jaminan perlindungan kepada migran pekerja. Oleh karena itu,
tidak terlalu berlebihan jika aktivitas migrasi yang berlangsung
terutama dari negara-negara berkembang tidak terkecuali dari Indonesia,
bergerak tanpa mekanisme yang memungkinkan keterlibatan mereka di dalam
kegiatan pasar kerja global terjamin secara politis maupun hukum (IOM,
2000; 1999; Nagib, 2000).
Dalam
konteks politik dalam negeri Malaysia, kehadiran pekerja asing
sebenarnya merupakan dilema bagi pemerintah. Di satu sisi ketakutan
pemerintah Malaysia akan komunitas pekerja migran yang makin besar
diakawatirkan menjadi pesaing berat pekerja setempat. Hal ini memberikan
implikasi langsung pada terjadinya tekanan pengangguran di level bawah
struktur pasar kerja nasional Malaysia. Kenyataan yang ada adalah bahwa
tingkat pengangguran di malaysia pada tahun 2000 mencapai 2,8 persen
(Ismail dan Tahir, 2000). Kondisi ini dikawatirkan akan jauh lebih besar
jika tenaga kerja asing masuk ke Malaysia dalam jumlah yang makin
besar, apalagi pada era dimana pasar bebas regional segera diberlakukan.
Di sisi lain, secara ekonomi sesungguhnya kehadiran pekerja asing yang
sebagian besarnya dari Indonesia telah memberikan keuntungan besar
kepada pemerintah Malaysia. Penggunaan tenaga kerja asing yang relatif
murah telah memberikan kontribusi besar pada tambahan saving dana
pembangunan. Di samping itu, pekerja asing juga telah ikut berperan
mempercepat transformasi pembangunan di semua lini pembangunan Malaysia.
Hal ini menjadi dasar penting untuk melihat dan mengkaji
kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan asing di Malaysia khususnya
menyangkut peluang dan penghargaan yang lebih fair pada saat sekarang
dan akan datang.
Realitas
kehadiran pekerja Indonesia di Malaysia merupakan fenomena yang tidak
terhindarkan. Hal ini mengingat bahwa aliran pekerja Indonesia terutama
ke bagian selatan semanjung Malaysia sudah berlangsung turun-temurun
sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan secara rutin di luar kerangka
politik. Pengetatan aturan keimigrasian yang dilakukan dibawah alasan
stabilitas nasional Malaysia oleh karenanya merupakan sebuah sebuah
eskapisme dari ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan manajemen
tenaga kerja yang transparan dan ketakutan berlebihan atas dominasi
pekerja asing terutama di sektor-sektor riil. Jika dilihat lebih
sepsifik, kehadiran pekerja Indonesia sepanjang era krisis (1997-2002)
telah memberikan sumbangan penting bagi berjalannya roda perekonomian
Malaysia yang sebagiannya mengandalkan sektor perkebunan dan pertanian.
Oleh karena itu, secara ekonomi hilangnya sebagian besar pekerja asing
sebagai implikasi langsung dari kebijakan ketat yang diterapkan
pemerintah Malaysia memberikan pukulan berat bagi perekonomian Malaysia
paling kurang satu periode ke dapan. Logikanya adalah pengusiran tenaga
kerja asing menciptakan kekosongan-kekosongan tenaga kerja di lapisan
terbawah sementara pekerja lokal pun enggan untuk mengisi sektor
pekerjaan tersebut. Kondisi ini secara substansial merupakan ancaman
bagi stagnasi pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah-wilayah negara
bagian yang banyak memanfaatkan tenaga kerja asing, seperti Slangor,
Johor, Negeri Sembilan, Melaka dan negara-negara yang berada dibawah
wilayah persekutuan Melayu.
Secara
historis pembatasan masuk pekerja asing sebenarnya bukan hal baru bagi
Malaysia. Pelanggaran-pelanggaran keimigrasian bahkan secara tradisional
telah dilakukan dan “direstui” oleh kelompok-kelompok masyarakat yang
sangat membutuhkan kehadiran pekerja terutama disektor perkebunan dan
pertanian. Akta keimigrasian Malaysia 1959/1963 yang diperbaharui dengan
Akta keimigrasian Agustus 2002 yang mengatur tentang pembatasan dan
ijin tinggal warga asing di Malaysia misalnya merupakan salah satu
penegasan aturan sbelumnya. Akta ini pula yang digunakan untuk mendakwa
dan mengancam sebagian besar pekerja untuk berhati-hati melakukan
aktivitas di wilayah semanjung Malaysia khususnya.
Namun
demikian, faktanya adalah bahwa betapapun upaya pengetatan keimigrasian
dilakukan, realitas kebutuhan pekerja yang sangat besar di lapisan
bawah dalam stuktur pasar kerja Malaysia menyebabkan aliran masuk migran
sulit untuk dikendalikan. Di samping itu, ketimpangan pertumbuhan
ekonomi regional antara negara-negara tujuan migrasi (seperti malaysia)
dengan negara asal migran menyebabkan aktivitas migrasi yang dilakukan
hampir tidak mempertimbangkan resiko yang mungkin akan dihadapi
sepanjang proses migrasi yang terjadi. Kemiskinan di daerah asal migran
telah menjadi stigma yang menjadikan aktivitas migrasi seperti dua sisi
mata uang yang tidak terpisah. Di satu sisi, aktivitas tersebut
mengandung resiko besar tetapi disisi yang lain juga ada harapan untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga di daerah asal. Sebuah pilihan
aktivitas yang juga bersifat dilematis, berada diantara pilihan-pilihan
ekonomi politis yang sama beratnya.
Berkaca dalam Lumpur: Antara Indonesia dan Indon
Realitas
objektif pemberlakukan pasar bebas global ataupun pasar bebas regional
sebenarnya memberikan paling kurang tiga aspek penting bagi kativitas
migrasi pekerja antar negara. Pertama, secara umum berlakunya pasar
bebas regional ataupun global memberikan ruang lebih bebas bagi pekerja
untuk melakukan aktivitas ekonomi produktif tanpa harus dibatasi oleh
batasan-batasan politik antarnegara. Kedua, segmentasi pasar kerja yang
makin kompleks juga memberikan kesempatan bagi pekerja pada berbagai
tingkatan dan kualitas untuk memilih bidang-bidang atau sektor-sektor
kerja yang sesuai dengan keterampilan dan kemampuan pekerja. Ketiga,
secara hukum dan politis aktivitas ekonomi pekerja lebih terlindungi
karena keterlibatannya di pasar kerja global dijamin berdasarakan hukum
dan konvensi internasional (Fong, 1992).
Namun
demikian, tidak semua negara bahkan termasuk negara yang menandatangi
perjanjian perdagangan bebas rela membuka pasarnya untuk diisi oleh
pekerja dengan berbagai latar belakang sosial kultural, bahkan politik.
Hal ini disebabkan tidak adanya suatu konsep dan mekanisme jelas
berkaitan dengan keterlibatan tenaga kerja asing untuk ikut bersaing di
pasar kerja nasional negara-negara terkait. Negara-negara Asia Tenggara,
seperti Malaysia dan Indonesia misalnya menyimpan kekawatiran besar
sebagai konsekuensi tidak tepatnya strategi pengembangan sumberdaya
manusia yang dilakukan. Hal ini menyebabkan respon yang diberikan selalu
lebih lambat dari desakan kesepakatan pasar bebas yang terlanjur
ditandatangani. Lebih jauh, pemerintah negaranegara di kawasan ini
cenderung untuk melakukan proteksi dari keterlibatan pekerja asing.
Sterilisasi pasar kerja nasional di masing-masing negara bahkan
dibingkai dengan kepentingan politik yang semata-mata dilakukan untuk
menghindar dari kesepakatan internsional.
Jeratan
kepentingan politik terhadap realitas perkembangan ekonomi global telah
menciptkan ruang diskriminatif yang menempatkan pekerja asing di suatu
negara pada posisi yang dilematis. Di satu sisi kemiskinan dan tidak
tersedianya kesempatan kerja memadai di negara asalnya menyebabkan
pekerja migran terpaksa menetapkan pilihan dengan segala resiko yang
dihadapi. Di sisi lain, pekerja pun nampaknya harus menghadapi kenyataan
bahwa aktivitas yang dilakukan tidak berada pada jangkauan perlindungan
yang mampu diberikan oleh negara asalnya bahkan oleh negara tempat dia
bekerja (Rivera, 1992). Inilah sebuah kenyataan yang harus dihadapi
migran di negara tujuan, di mana aktivitasnya telah menjadi bagian tidak
terpisah dalam seluruh proses pembangunan yang dilakukan pemerintah
negara terkait.
Dalam
konteks Malaysia, Indon merupakan terminologi yang digunakan untuk
menyebut pekerja Indonesia. Sebuah sebutan yang sesungguhnya lebih
bernuansa kumuh, miskin dan ilegal ketimbang mengndung makna asal
pekerja. Dengan demikian, jika seorang Indon melakukan pelanggaran,
dalam konteks apapun maka indon-indon lain akan langsung merasakan
akibatnya. Akan tetapi di sisi lain, terminologi tersebut bahkan telah
menciptakan efek positif pada berkembangnya solidaritas antar pekerja
migran. Indon, dengan demikian, dapat juga bermakna orang indonesia yang
miskin dan senasib. Kenyataan ini hampir identik dengan tingkat sosial
ekonomi mereka yang tidak pernah melampaui limit lapisan terendah dalam
struktur sosial di Malaysia. Itulah sebabnya memahami realitas pekerja
migran Indonesia yang ada di Malaysia hampir identik dengan berkaca di
dalam lumpur. Mencoba melihat realitas kehidupan diri sendiri di dalam
sebuah kuabngan lumpur. Sebuah realitas yang dapat menjadi cermin betapa
buruknya kebijakan pemerintah dalam hal migrasi internasional. Di
samping itu, realita tersebut dapat juga menjadi cermin betapa
pemerintah tidak punya perhatian serius pada nasib pekerja migran
meskipun pada setiap kesempatan persoalan ini dianggap positif bagi
kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Dalam
konteks perlindungan pekerja, Malaysia sebenarnya bukan merupakan
negara ideal. Meskipun Malaysia merupakan negara utama tujuan migrasi,
tetapi kenyataan yang ada adalah bahwa negara tersebut termasuk dalam
salah satu negara Asia Pasifik yang tidak mampu memberikan jaminan
perlindungan memadai bagi aktivitas pekerja asing. Hal ini disebabkan
institusi Malaysia tidak secara tegas menempatkan pekerja ke dalam
akta-akta perburuhan kecuali perlindungan terhadap pekerja tempatan dari
berbagai tindakan penyimpangan. Itulah sebabnya dalam setiap terjadi
perselisihan kerja posisi pekerja asing hampir tidak pernah diposisikan
pada situasi yang menguntungkan. Hal ini berbeda dengan negara-negara
lain yang mengatur jaminan perlindungan jelas bagi pekerja tanpa melihat
identitas sosial-politik pekerja bersangkutan. Paling kurang ada 6
negara Asia-Pasifik yang dapat memberikan jaminan jelas kepada pekerja
migran yang melakukan aktivitas ekonomi, yaitu Australia, Irak, Iran,
Yordania, Selandia baru, dan Philippine (Rivera, 1992). Oleh karena itu,
perlakuan pemerintah terhadap pekerjanya pun baik yang melakukan
aktivitas di dalam maupun di luar negerinya hampir tidak berbeda.
Kondisi ini hampir tidak ditemukan di negara-negara yang tidak
mengadopsi sistem jaminan sosial pekerja termasuk Indonesia.
Di Balik Jerat Hutang, Taikong, dan Perlindungan Hukum
Pertanyaan
yang sering muncul ketika bersentuhan dengan aktivitas migrasi
internasional adalah bagaimana sebuah proses panjang migrasi yang
dilakukan dari daerah-daerah yang relatif miskin dapat berlangsung dalam
volume yang besar. Lebih jelasnya, bagaimana mereka (para migran
potensial) bisa membiayai perjalanan migrasi yang dilakukan? Sebuah
pertanyaan yang jawabannya sbenarnya ada di dalam kantongkantong para
calo dan agen-agen pengerah jasa tenaga kerja.
Jika
sebuah aktivitas migrasi internasional yang berlangsung diasumsikan
berasal dari wilayah-wilayah yang relatif miskin secara ekonomi, dapat
dipastikan seluruh atau sebagian pembiayaan migrasi ditanggung oleh
orang ketiga. Hal ini berarti aktivitas migrasi yang terjadi berlangsung
dalam lingkaran hutang yang dikelola oleh kelompokkelompok pengerah
jasa tenaga kerja luar negeri. Rantai migrasi yang belangsung dalam
lingkaran tersebut menciptakan rangkaian sindikat yang melibatkan
berbagai pihak hingga ke tingkat birokrasi. Persoalan ini pada
gilirannya menyebabkan pengendalian aktivitas migrasi yang dilakukan di
luar kerangka hukum formal menjadi semakin sulit dideteksi.
Fakta
yang ditemukan dalam berbagai penelitian (Mantra, dkk, 1998, 2000,
2001; Haris, 2002) memperlihatkan bahwa sebagian besar aktivitas migrasi
yang dilakukan terutama dari wilayah timur Indonesia, seperti NTB dan
NTT dilakukan dengan sistem pinjaman modal kepada pihak-pihak pengerah
jasa. Hal ini menyebabkan pekerja migran dan keluarganya hampir tidak
punya peluang untuk memanfaatakan remitan yang dihasilkan di negara
tujuan. Kisaran hutang dengan sistem berganda yang dilakukan pelaku
pengirim tenaga kerja secara ekonomi berdampak negatif pada program
pembangunan daerah.
Paling
kurang ada dua argument yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal
tersebut. Pertama, realitas putaran uang di daerah asal migran
didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu, seperti taikong atau calo
dan biro pengerah jasa tenaga kerja. Oleh karena itu, meskipun jumlah
nominal remitan masuk ke daerah asal tercatat relatif besar, tetapi
potensi pemberdayaan ekonomi migran tidak mungkin dilakukan. Hal ini
menyebabkan hampir tidak terjadi peningkatan pertumbuhan kegiatan
ekonomi yang cukup signifikan. Kedua, dominasi kelompok pengerah jasa
tenaga kerja terhadap seluruh proses migrasi yang terjadi di daerah asal
menyebabkan kelompok-kelompok migran potensial kehilangan akses dengan
program penempatan tenaga kerja yang diselenggarakan pemerintah. Hal ini
membawa implikasi pada rendahnya tingkat keamanan pekerja migran karena
kemungkinan untuk mengalami tindakan-tindakan menyimpang dari berbagai
pihak jauh lebih terbuka. Di sisi lain, pemerintah pun berada pada
posisi dilematis karena secara politis harus ikut bertanggungjawab
melacak dan melakukan pengendalian terhadap aktivitas “liar” migrasi
yang berlangsung diluar kerangka program formal pemerintah.
Kuatnya
pengaruh taikong atau calo dalam seluruh proses migrasi internasional
di hampir semua wilayah kantong migrasi di Jawa maupun luar Jawa
sesungguhnya didukung oleh kuatnya desakan kebutuhan dari daerah tujuan.
Oleh karena itu, untuk memenuhi target kebutuhan tersebut agen-agen
pengerah jasa malakukan “grilya” hingga ke wilayah-wilayah plosok untuk
tujuan perekrutan tenaga kerja yang akan ditempatkan secara ilegal di
daerah tujuan. Kondisi inipun sebenarnya telah berlangsung cukup lama
dibawah bayang-bayang birokrasi formal pemerintah. Artinya, meskipun
pemerintah melakukan program penempatan tenaga kerja ke luar negeri
secara legal, tetapi dibalik “baju” legalitas formal tersebut juga
dilakukan pengiriman tenaga kerja tidak berdokumen oleh kelompok
kelompok agen pengerah jasa. Alasan rumitnya birokrasi migrasi kemudian
menjadi salah satu alasan yang seringkali dijadikan sebagai tameng untuk
melegalkan seluruh aktivitas penempatan migran tenaga kerja ke luar
negeri khususnya ke wilayah selatan smenanjung Malaysia.
Terlepas
dari persoalan-persoalan yang ada di sekitar proses migrasi tersebut,
kenyataannya regim calo dan agen-agen pengerah jasa jauh lebih kuat
dibanding pengaruh pemerintah terutama di lapisan bawah struktur pasar
kerja nasional. Pemerintah sebagai agen resmi negara bahkan hampir
kehilangan legitimasi untuk menyampaikan berbagai informasi penting
tentang kesemptan kerja di pasar kerja internasional. Ketidakmampuan
agen-agen pemerintah untuk menanamkan pengaruhnya di lapisan bawah
kelompok tenaga kerja menyebabkan program-program yang dilakukan
mengalami stagnasi. Dalam arti bahwa tidak terdapat kemajuan berarti di
dalam implementasi kebijakan pembangunan yang dijalankan. Kondisi ini,
jika dibiarkan dalam jangka waktu tidak lama, maka pemerintah akan
menuai ketidakpercayaan masyarakat terhadap program-program pembangunan
terutama dalam bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu, tidak ada
pilihan lain bagi pemerintah untuk melakukan antisipasi ke depan
menyiapkan kualitas SDM yang dibutuhkan pasar di samping memperbaiki
manajemen ketenagakerjaan khususnya berkaitan dengan antisipasi
kebijakan migrasi internasional yang berpihak kepada kepentingan pekerja
migran demi menjamin kepentingan nasional yang lebih besar.
Ketidakberdayaan
pemerintah dalam menangani persoalan buruh migran baik di dalam negeri
maupun di luar negeri terutama melalaui perwakilannya atau pun melalui
lembaga-lembaga yang bertanggungjawab terhadap penempatan tenaga kerja
luar negeri pada gilirannya menempatkan pekerja Indonesia pada posisi
yang sulit. Di dalam negeri pemerintah tidak mampu memberikan jaminan
ekonomi yang memadai karena kesempatan kerja sangat terbatas. Di lain
pihak program penempatan tenaga kerja luar negeri pun umumnya tidak
disertai perangkat hukum yang mampu menjamin keselamatan dan kenyamanan
pekerja migran dalam melakukan aktivitasnya, seperti tercantum dalam bab
III pasal 9 pada konvensi ILO yang sebenarnya telah dirativikasi oleh
kebanyakan negara ASEAN. Pasal ini antara lain menegaskan perlunya
memberikan jaminan perlindungan kepada pekerja dan keluarganya.
Negara-negara
pengirim maupun penerima sebenarnya cukup punya dasar hukum kuat untuk
memberikan proteksi kepada pekerja migran internasional yang melakukan
aktivitas ekonomi di negaranya. Namun demikian kesepakatan internasional
yang mencakup kewajiban negara penerima maupun negara pengirim untuk
melindungi pekerja tidak dapat mengabaikan aspek-aspek sosial kultural
masyarakat negara setempat. Hal inilah yang sebenarnya menjadi hambatan
paling berat bagi negara pengirim untuk untuk mencoba melakukan
terobosan-terobosan karena adanya perbedaan persepsi yang sulit
disosialisasikan terutama dalam konteks hubunganhubungan hukum dan
politis (Mantra, dkk., 2001). Akan tetapi, apapun bentuk hambatan yang
dihadapi, sebagai sebuah negara yang bertanggungjawab atas nasib
pekerjanya, maka sudah selayaknya pemerintah dengan berbagai upaya
memberikan perlindungan maksimal tanpa melihat konteks ilegal atau
legal. Jika konteks hukum tidak mampu memberikan perlindungan maka
alternatif lain, seperti penekanan pada pasal-pasal kerjasama dan
perjanjian bilateral pun masih mungkin dilakukan untuk mencairkan
kebutnuan dialog dua negara. Dengan demikian, pekerja migran tidak
diposisikan pada situasi kritis dan tidak aman dari berbagai ancaman
resiko di dalam negeri dan terutama di negara tujuan migran.
Di Balik Ringgit dan Sebatan Rotan
Persoalan
yang akhir-akhir ini banyak menimbulkan kontroversi terutama di
Indonesia adalah persoalan hukum sebat yang dikenakan kepada para migran
yang tidak mengikuti aturan keimigrasian Malaysia atau yang ijin
tinggalnya habis atau yang melakukan aktivitas ekonomi diluar legalisasi
hukum Malaysia. Akan tetapi, jika dilihat lebih jauh persoalan
sebenarnya bukan pada hukum sebat yang diberlakukan oleh pemerintah
Malaysia, tetapi lebih pada persoalan pemulangan sebagian besar tenaga
kerja Indonesia. Jika persoalan hukum sebat diangkat ke permukaan,
masalahnya kenapa baru muncul setelah ratusan ribu pekerja terdeportasi
dari Malaysia. Kenapa pemerintah tidak melihat fenomena kekerasan baik
yang dilegalkan maupun yang tidak pada periode-periode sebelumnya?
Sebuah
kenyataan pahit yang ditakutkan pemerintah sebenarnya adalah kembalinya
ratusan ribu pekerja ini dikawatirkan akan menjadi ancaman serius
perekonomian dan sosial-politik Indonesia yang sudah terpuruk. Tambahan
pengangguran ratusan ribu akan menjadi peringatan bagi Indonesia.
Artinya jika pemerintah tidak segera memberikan alternatif bagi sebagian
besar deportan migran, maka tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan
berbagai persoalan sosial dan poltik seperti yang dialami Meksiko atau
Argentina beberapa waktu lalu. Inilah yang sebenarnya menjadi titik
total perdebatan, dan bukan pada substansi proses pemulangannya semata.
Kenyataan
yang ada saat ini adalah bahwa tidak semua deportan migran yang dikirim
dari negara tujuan kembali sampai daerah asal. Fakta menunjukkan bahwa
pada setiap dua ribu deportan diketahui 500-750 deportan menghilang di
perjalanan (Kopbumi, dan berbagai sumber, 2002). Ini berarti jika
diakumulasi total separuh kurang lebih 600.000 deportan migran tidak
kembali ke daerah asal atau menghilang dalam perjalanan. Berdasarkan
fenomena ini dapat diprediksikan bahwa sebagian besar pekerja yang tidak
kembali atau hilang dalam perjalanan hanya memiliki dua kemungkinan,
yaitu tinggal sementara diperbatasan untuk kemudian kembali memasuki
daerah tujuan atau pergi ke lokasi-lokasi lain yang diharapkan mampu
memberikan alternatif ekonomi lebih baik. Jika alternatif pertama
terjadi maka dapat dipastikan resiko yang dihadapi pekerja akan jauh
lebih besar. Hal ini mengingat bahwa disamping resiko hukum, pekerja
juga kemungkinan pekerja juga akan menghadapi resiko kemanusiaan lebih
buruk berupa pemerasan atau jatuh dalam jaringan perdagangan manusia.
Berbagai
fakta yang ada menunjukkan bahwa meskipun negara tujuan, Malaysia
misalnya, memberlakukan hukuman pancung sekalipun migran internasional
akan tetap berdatangan kecuali aktivitas pembangunan tidak dilakukan.
Kenyataannya, ketika ratusan ribu pekerja migran Indonesia meninggalkan
Malaysia, sektor properti dan sektor-sektor riil seperti perkebunan dan
pertanian terancam stagnan atau tidak bisa beraktivitas. Oleh karena
itu, mungkin dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk
mendeportasi sebagian besar pekerja asing adalah sebuah arogansi sebagai
akibat rasa percaya diri berl;ebihan dari pemerintah Malaysia. Namun
apapun kontroversi hukum yang terjadi, kenyataan arus migrasi masuk
ilegal pekerja khususnya dari kantong-kantong migran pekerja di kawasan
timur Indonesia tetap berlangsung. Konflik kepentingan politik yang
terjadi antara dua negara terkait seolah tidak berpengaruh pada
aktivitas yang dilakukan. Inilah fakta yang terjadi dan harus dilihat
secara proporsional, baik oleh pemerintah negara tujuan maupun oleh
pemerintah Indonesia sendiri. Fakta bahwa ringgit itu jauh lebih manis
dari resiko sebatan rotan atau 3 bulan penjara yang mungkin akan dialami
oleh pekerja.
Dalam
situasi sulit ini, kemudian patut pula diajukan sebuah pertanyaan
kepada pemerintah adakah pemerintah telah serius memikirkan
persoalan-persoalan ekonomi di lapisan bawah? Atau pernahkan pemerintah
terketuk untuk menginisiasi sebuah jaminan perlindungan yang mampu
melindungi rakyatnya bahkan pada lapisan paling bawah sekalipun yang
berada di luar negeri? Jawabanya kembali kepada komitmen dan kemauan
politik pemerintah dan parlemen, dan bukan pada pernyataan-pernyataan
untuk meraih sebuah kursi jabatan.
Catatan Penutup
Tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk membawa situasi buruh migran Indonesia dalam
perdebatan yang kian rumit, akan tetapi lebih pada upaya membuka wacana
untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul berkaitan dengan
situasi perburuhan yang kian tidak menentu. Dalam diskusi ini diharapkan
akan muncul pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat membawa nafas
baru bagaimana memberikan solusi alternatif terhadap persoalan-persoalan
migrasi internasional yang kian kompleks. Lebih jauh, diskusi ini
diharapkan dapat menciptakan ruang lebih terbuka untuk diskusi yang
lebih luas berkaitan dengan persoalan-persoalan migrasi internasional
yang terus berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan atmosfer
ekonomi dan politik global. Semoga diskusi ini memberikan nafas baru
bagi studi migrasi dan kependudukan pada umumnya.
Daftar Pustaka
Fong,
Pang Eng. 1992. “Absorbing Temporary Foreign Workers: The Experience of
Singapore” dalam Asia and Pacific Migration Journal, Vol 1(3-4)
(495-510).
Haris,
Abdul. 2002. Memburu Ringgit Membagi Kemiskinan, Fakta di Balik Migrasi
Orang Sasak ke Malaysia. Yogyakarta Pustaka pelajar.
Hugo,
Graeme. 1996. Economic Impact of International Labour Emigration on
Regional and Local Development: Some Evidence from Indonesia. Paper to
be Presented at annual meeting of Population Association of America, New
Orlean.
—————.
1993. “Indonesia Labour Migration to malaysia: Trend and Policy
Implication” dalam South-Asian Journal of Social Science, Vol 21. No.1.
————–.
1982. “Source pf International Migration in Indonesia: Their Potential
and Limitation” dalam majalah Demografi Indonesia, no.17.
IOM. 1999. International Migration Policies and Programs. New York: Un Publication.
————–.2000. World Migration Report 2000. New York: UN Publication.
Ismail,
Abd. Ghafar dan Md. Zyadi Md. Tahir. 1998. Makro Ekonomi Malaysia,
Perspektif Dasar. Bagi: Universiti Kebangsaan Malaysia Press.
Keputusan
Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-104
A/MEN/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri.
Mantra,
Ida Bagoes, Kasto dan Yeremias T. Keban. 1999. Laporan Penelitian
Migrasi Tenaga kerja Indonesia Ke Malaysia: Isu Kemanusiaan dan Masalah
Kebijakan (Kasusu NTT, NTB dan Jawa Timur). Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan UGM.
—————,
Kasto dan Abdul Haris. 2001. Mobilitas Pekerja Wanita Indonesia ke Arab
Saudi: Masalah Kekerasan dan Perlindungan Hukum (Kasus Cilacap-Jawa
Tengah). Yoyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Meier, Gerald M. 1995. Leading Issues in Economic Development. New York: Oxford University Press.
Nagib, Laila (ed). 2000. Laporan Studi Kebijakan Pengembangan Pengiriman Tenaga kerja Wanita ke Luar Negeri. Jakarta: PPT-LIPI.
Rivera,
Mauricio M. 1992. “Social Security Protection of Migrant Workers” dalam
Asia and Pacific Migration Journal, Vol 1(3-4) (511-528).
Todaro, Micahel P. 1995. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (edisi Ind.). Jakarta: Erlangga.
—————. 2000. Economic Development. New York: New York University Press.
Zlotnik,
Hania. 1992. “Emopirical Identification of International Migration
System” dalam International Migration Systems, A Global Approach, Edited
by Merry M. Kritz, et al. Oxford: Clarendon Press.
————–. 1998. “International Migration 1965-1996: an Overview” dalam Population and Development Review, Vol. 24 (3) (429-468).
Abdul Haris : Staf Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadajah Mada, Yogyakarta.

Posting Komentar