REVISI Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri harus lebih memprioritaskan perlindungan dari proses penempatan. Hasil revisi ini juga diharapkan lebih melindungi tenaga kerja Indonesia dan keluarga.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari mengungkapkan hal itu di Gedung Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (27/12). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak aktif dalam kelompok kerja pemerintah yang dipimpin Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Abdul Muhaimin Iskandar menyiapkan daftar inventarisasi masalah untuk dibahas bersama DPR.
"Kami banyak memberikan masukan tentang TKW (tenaga kerja wanita) karena memang di dalam UU itu hanya satu kata yang menyebut tentang perempuan, yakni perempuan hamil tidak boleh berangkat bekerja ke luar negeri. Padahal, kan, banyak masalah yang lain dan (antisipasi) itu yang kami coba masukkan," ujar Linda.
Sedikitnya 6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja di luar negeri dan mengirim uang Rp 71 triliun, yang langsung menggerakkan sektor riil di perdesaan. Hampir 70 persen TKI menjadi pekerja rumah tangga di rumah pengguna jasa yang terisolasi dan rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia.
Malaysia dan Arab Saudi adalah dua negara penempatan TKI. Sedikitnya 2,2 juta TKI bekerja di Malaysia dan 1,5 juta orang di Arab Saudi, dengan separuh di antaranya tidak berdokumen.
Akan tetapi, perlindungan TKI yang buruk dari negara tujuan membuat pemerintah menghentikan sementara penempatan ke Malaysia, Arab Saudi, Jordania, Kuwait, dan Suriah. Kini, praktis pengiriman TKI tinggal ke Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab.
"Masalah perlindungan hanya sembilan pasal dalam UU No 39/2004. Padahal, masalah perlindungan ini yang harus lebih penting," katanya.
Masalah perlindungan terus menjadi sorotan aktivis pembela buruh migran. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mempersoalkan perlindungan negara terhadap TKI yang semakin lemah.
Hanya nasihat
Dia mengatakan, pemerintah lebih banyak memberi nasihat kepada TKI di luar negeri. Semestinya pemerintah bertindak konkret membela TKI. "Padahal, sudah ada 18 instansi yang seharusnya aktif berkoordinasi melindungi TKI. Tetapi, dalam kebijakan pemerintah selama ini, TKI selalu menjadi obyek atau sasaran tembak untuk disalahkan lebih dulu sebelum merespons apa yang terjadi," tuturnya.
Hal ini juga tampak dalam penanganan 417 TKI terancam hukuman mati yang tersebar di Malaysia (438 orang), Arab Saudi (45 orang), China (22 orang), dan Singapura (2 orang). Sebanyak 32 orang di antaranya, seperti Tuti Tursilawati, Satinah, Siti Zaenab, Siti Aminah, dan Darmawati, sudah divonis mati dan menunggu dieksekusi.
Anis mencontohkan pembebasan Bayanah binti Banhawi, TKI asal Desa Ranca Labuh RT 07 RW 01, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Banten, dari ancaman hukuman mati di Arab Saudi. "Pemerintah cepat bersuara merespons hal ini walau Bayanah bebas karena pengadilan memutuskan dia tidak bersalah. Tetapi, bagaimana hasil lobi 32 TKI terpidana mati yang justru sangat rentan?" ujarnya.
Menurut Anis, pemerintah kerap memakai alasan prosedur penempatan, dokumen, dan masa kerja untuk menyalahkan TKI saat menerima pengaduan. Anis mendesak pemerintah bertindak lebih konkret melindungi TKI dan tidak sekadar berwacana atau menjalankan politik pencitraan.
Mantan TKI pekerja rumah tangga di Arab Saudi yang kini menjadi dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Nuryati, mengakui, perlindungan negara sangat minim. Dia menguraikan, proses penempatan TKI berbeda jauh dengan Filipina.
Buruh migran Filipina dikirim oleh agen dan dijemput agen di negara tujuan. Calon pengguna jasa hanya boleh menjemput di kantor agen pekerja asing. "Kalau TKI, majikan bisa menjemput di bandara dan dalam perjalanan menuju rumah, peluang terjadi pelecehan seksual sangat besar. Pemerintah juga tidak pernah menelepon," kata Anis. (HAM)
Sumber: Kompas
Posting Komentar