PERSOALAN rekrutmen dipandang menjadi akar masalah penempatan tenaga kerja Indonesia. Namun, persoalan yang tak kalah krusial justru sistem penempatan yang menempatkan TKI minus upaya memanusiakan. Memang banyak juga penempatan TKI yang sukses menghasilkan wirausaha-wirausaha baru di desa. Akan tetapi, satu TKI bermasalah tetap saja menunjukkan ada pelanggaran rasa kemanusiaan.
Ribuan calon TKI harus rela hidup berdesakan di tempat penampungan dengan fasilitas mandi, cuci, kakus terbatas. Belum lagi mereka harus tidur berlapis kasur tipis di lantai atau di loteng karena keterbatasan tempat tidur. Sikap pemerintah yang menyerahkan proses rekrutmen dan penempatan kepada mekanisme pasar sungguh memprihatinkan.
Korelasi kesejahteraan
Pemerintah harus paham, tujuan baik jika dilakukan dengan cara yang salah akan berdampak negatif bagi keseluruhan sistem. Upaya mengirim TKI untuk menekan pengangguran tanpa membangun sistem perlindungan dan penempatan yang mumpuni tak beda dengan mengirim mereka ke kandang macan. Pemerintah sudah semestinya serius membenahi masalah ini dengan konsisten.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah di Jakarta, Selasa (27/12), mengungkapkan, pemerintah tidak boleh memakai pendekatan uang untuk menyelesaikan masalah seperti yang terjadi dalam kasus TKI bermasalah di Arab Saudi. Pemerintah semestinya membangun sistem penempatan dan perlindungan TKI dengan cara pandang kemanusiaan. Bukan TKI sebagai komoditas ekonomi. "Tidak ada korelasi antara migrasi buruh dan kesejahteraan. Sistem yang ada saat ini tidak bisa diharapkan sama sekali. Kita butuh revolusi kebijakan," ujarnya.
Menurut Anis, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) telah merusak tatanan hak asasi manusia. Pemerintah hampir tidak berperan dalam melindungi TKI karena UU tersebut lebih banyak mengatur soal penempatan dengan melonggarkan mekanisme pasar yang berorientasi laba.
Kondisi ini membuat penempatan TKI tak lebih dari komodifikasi manusia. Apalagi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, lebih senang memakai pendekatan nilai remiten saat berbicara masalah TKI ketimbang mengatasi permasalahan yang terjadi berulang.
Bagaimana keseriusan pemerintah melindungi TKI tampak dari pengalokasian dana. Pemerintah mengalokasikan dana perlindungan TKI tahun 2012 sebesar Rp 101 miliar yang ditempatkan di pos anggaran Kementerian Luar Negeri. Dana ini tentu tidak sebanding dengan jumlah TKI yang bekerja di luar negeri dan peranan mereka menyumbang devisa.
Anis mengkritik begitu banyak anggaran yang dihabiskan pemerintah untuk berpromosi, baik promosi klaim keberhasilan kinerja maupun kampanye perluasan pasar kerja di luar negeri. Sampai-sampai ada pejabat yang kebablasan mempromosikan penempatan TKI ke Sudan, salah satu negara Afrika yang kondisi ekonomi dan politiknya belum stabil saat ini.
Aktivis Forum Warga Buruh Migran Indonesia (FWBMI) Kabupaten Cirebon, Castra Aji Sarosa, meminta pemerintah lebih serius melindungi TKI. FWBMI merupakan pusat pengaduan keluarga TKI yang bermasalah di luar negeri dan melayani sedikitnya dua kasus sebulan.
Castra bersama jaringan aktivis buruh migran di Kabupaten Cirebon kini tengah mengadvokasi penyusunan rancangan peraturan daerah tentang perlindungan TKI dan keluarga di DPRD Kabupaten Cirebon. Dia berharap regulasi ini akan meneguhkan komitmen pemerintah daerah melindungi TKI.
Keberpihakan regulasi
Indonesia merupakan negara pengirim PRT terbesar di dunia. Sudah sepatutnya pemerintah membenahi regulasi yang ada dan meratifikasi peraturan internasional untuk memperkuat perlindungan TKI di mana pun mereka berada.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, menegaskan, UU PPTKLN merupakan masalah utama perlindungan TKI. Rakyat seperti anak ayam kehilangan induk saat negara menyerahkan peran perlindungan sepenuhnya kepada pelaksana penempatan TKI swasta.
Kondisi ini yang akhirnya membuat rakyat, terutama keluarga TKI, lebih percaya kepada gerakan sipil, seperti FWBMI, Forkabumi Indramayu, dan Migrant Care, untuk mencari perlindungan. Mereka tidak mengadu ke pemerintah karena sudah tahu ujung-ujungnya hanya diacuhkan dan didiamkan.
Menurut Anis, revisi UU PPTKLN menjadi satu keharusan. Undang-undang tersebut merupakan kesalahan terbesar pemerintah dalam menjalankan perlindungan TKI. Dia juga meminta pemerintah segera meratifikasi Konvensi Perlindungan PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarga Buruh Migran untuk lebih menguatkan posisi tawar Indonesia di luar negeri. "Kalau Indonesia tidak mau meratifikasi konvensi ini, jangan lagi mengirim TKI," ujar Anis.
Secara terpisah, Ketua Komisi IX DPR, yang membidangi masalah kesehatan dan ketenagakerjaan, Ribka Tjiptaning mengungkapkan, DPR saat ini sudah membahas revisi UU PPTKLN. Proses revisi sudah mendekati tahap akhir dan diharapkan awal tahun 2012 bisa disahkan.
"Revisi ini menitikberatkan perlindungan. Walaupun sumbunya, yaitu Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga, belum ada, ya, berat juga. RUU PRT ini juga penting karena pekerja kita di luar negeri 70 persen adalah pekerja rumah tangga," ujar anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Sudah sepatutnya revisi UU PPTKLN diarahkan untuk lebih melindungi TKI sebagai wujud kesediaan pemerintah memanusiakan rakyat. Jangan lagi kita menciptakan perlindungan berliku-liku bagai labirin tak berujung bagi TKI. (hamzirwan)
Sumber: Kompas
Posting Komentar