Kemacetan pembangunan perdesaan membuat jutaan warga desa terpaksa berangkat ke luar negeri menjual tenaga. Kabupaten Indramayu dan Cirebon di Jawa Barat, yang termasuk lumbung padi nasional di pantai utara, malah berkembang menjadi pemasok calon tenaga kerja Indonesia (TKI).
Boleh jadi hal ini merupakan salah satu contoh kegagalan otonomi daerah yang semestinya bertujuan mengakselerasi pembangunan daerah demi mencegah arus urbanisasi. Alih-alih meredam arus perpindahan penduduk dari desa ke kota, ketimpangan kebijakan pemerintah dalam membangun daerah justru memicu arus migrasi tenaga kerja produktif ke luar negeri.
Eva Kusuma Sundari, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat, yang juga Ketua Tim Khusus Perlindungan TKI di Arab Saudi, menegaskan, penempatan TKI merupakan residu dari politik pembangunan. Kebijakan anggaran yang tidak memihak sektor riil membuat perekonomian desa macet.
"Sepanjang tidak ada pembenahan ekonomi perdesaan, bekerja ke luar negeri akan terus terjadi. Ini ekses pembangunan ekonomi dan sosial yang gagal," ujar Eva.
Sedikitnya 6 juta TKI bekerja di luar negeri dan mengirim remiten Rp 71 triliun ke desa pada tahun 2010. Nilai yang sangat besar, tetapi sayang tidak banyak yang berhasil memanfaatkannya untuk membangun usaha produktif.
Kondisi ini sungguh menyedihkan. Desa Pabean Ilir yang berjarak 7 kilometer dari Tugu Kijang di kota Indramayu memiliki jalan berlubang yang menjadi kubangan lumpur pada musim hujan. Dibutuhkan waktu sedikitnya 40 menit untuk mencapai desa di pesisir utara Indramayu tersebut menggunakan mobil.
Aktivis Front Rakyat untuk Keadilan Buruh Migran Indramayu, Hero Gunawan dan Nurhadi, mengungkapkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Indramayu tahun 2010 mencapai Rp 1,3 triliun dengan Rp 600 miliar di antaranya dialokasikan untuk dinas pendidikan.
Sebanyak Rp 700 miliar lagi diarahkan untuk proyek fisik, bantuan sosial, dan perjalanan dinas. Alokasi anggaran guna mendukung pengembangan usaha produktif bagi mantan TKI yang sukses berwirausaha untuk menciptakan lapangan kerja demi meredam keinginan angkatan kerja berusia 15-24 tahun bekerja ke luar negeri sangat minim, bahkan hampir tidak ada.
Jalan berlubang yang membelah perkampungan berisi rumah-rumah berdinding anyaman bambu (gedek) beratap anyaman daun kelapa tampak sangat kontras dengan rumah-rumah permanen yang dicat warna-warni. Para TKI benar-benar menjadi motor utama penggerak ekonomi riil perdesaan.
Kondisi ini juga yang membuat anak muda Indramayu lebih berminat bekerja ke luar negeri ketimbang menjadi petani. Para orangtua pun menggadaikan sawah atau tambak, terkadang sampai harus menjual aset yang berharga itu, demi membiayai anak mereka bekerja ke luar negeri.
Mereka memilih jalan ini di tengah kebijakan anggaran pemerintah yang tidak memihak rakyat. Ketua Paguyuban Mang Becak Indramayu Rusmanjani Sobari mengeluhkan bagaimana para penarik becak tidak bisa mengakses anggaran pendidikan Kabupaten Indramayu yang lebih dari Rp 0,5 triliun itu.
Penarik becak yang berpenghasilan Rp 25.000-Rp 30.000 per hari banyak yang menunggak pembayaran iuran sekolah anaknya sehingga pihak sekolah kerap menahan ijazah sebelum pelunasan. "Karena banyak yang tidak mampu menebus, ya, akhirnya jadi TKI. Cari modal dulu untuk menebus ijazah," ujarnya sambil menghela napas.
Sayang, realitasnya tidak semudah itu. Sebagian besar calon TKI tidak memiliki modal untuk berangkat ke luar negeri. Mereka kerap menggadaikan aset yang ada, seperti sawah, kebun, atau sepeda motor, yang semestinya bisa untuk usaha, sebagai modal bekerja ke luar negeri.
Banyak juga yang langsung berutang kepada perusahaan lewat sponsor atau petugas lapangan yang justru tidak memiliki hubungan kerja mengikat dengan perusahaan. Sponsor pun kemudian membiayai seluruh pengurusan dokumen keberangkatan yang dibutuhkan sampai memberikan uang muka kepada keluarga, seolah-olah belum berangkat pun TKI sudah digaji.
Mereka merayu siapa saja untuk bekerja ke luar negeri dengan iming-iming gaji bulanan besar sebagai pekerja rumah tangga (PRT), misalnya 800 riyal (Rp 1,8 juta) di Arab Saudi, 600 ringgit (Rp 1,7 juta) di Malaysia, dan 4.000 dollar Hongkong (Rp 4,5 juta). Nilai yang cukup menggiurkan karena gaji PRT di Cirebon dan Indramayu masih sebesar Rp 350.000-Rp 500.000 per bulan. Sponsor akan mengeluarkan segala jurus untuk meyakinkan karena dia bakal menerima komisi sedikitnya Rp 4 juta per calon TKI.
Saat pemerintah menghentikan sementara penempatan TKI ke Malaysia, Arab Saudi, Jordania, Kuwait, dan Suriah, posisi tawar sponsor pun meningkat. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Rusdi Basalamah mengungkapkan, komisi sponsor kini sudah mencapai Rp 8 juta per calon TKI.
Kenaikan ini terjadi mengikuti lonjakan biaya perekrutan calon TKI untuk Timur Tengah yang dibayar calon pengguna jasa TKI dari 1.500 dollar AS (Rp 13,5 juta) menjadi 3.000 dollar AS (Rp 27 juta) per orang. Biaya perekrutan TKI untuk Malaysia pun kini mencapai 4.511 ringgit (Rp 12,8 juta) dengan komisi sponsor yang bisa mencapai Rp 5 juta per calon TKI.
Malaysia merupakan negara penempatan terbesar dengan sedikitnya 2,6 juta TKI bekerja di sana, disusul Arab Saudi dengan sedikitnya 1,5 juta TKI. Adapun 2 juta TKI lagi tersebar di Asia Pasifik dan Timur Tengah.
Menurut Rusdi, pelaksana penempatan TKI Swasta (PPTKIS) sebenarnya lebih senang jika pemerintah daerah memiliki bank data calon TKI sesuai dengan kompetensi. Pemerintah harus membangun bank data pencari kerja yang terkoneksi internet dengan melibatkan aparat rukun tetangga, rukun warga, desa, sampai ke kecamatan. Tidak itu saja, pemerintah daerah juga harus melatih pencari kerja ini sampai memiliki sertifikat kompetensi kerja yang terjamin.
Pengusaha jasa penempatan yang mendapat pesanan lowongan kerja dari luar negeri pun tinggal memantau ketersediaan calon TKI lewat bank data pencari kerja kabupaten, kota, dan provinsi yang terkoneksi internet. Sistem informasi ini tidak hanya menekan biaya penempatan karena memangkas biaya operasional PPTKIS dan komisi sponsor. Pemanfaatan teknologi juga mendekatkan aparat pemerintah dengan warga sehingga menjamin legalitas dokumen dan identitas calon TKI.
Masih pasif
Sejauh ini, sistem pendataan berjaringan internet yang sedang dikembangkan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di semua kabupaten di Jawa Barat belum banyak membantu. Sistem pendataan ini masih bersifat pasif karena mengandalkan kesediaan calon TKI datang mengurus surat rekomendasi pengurusan paspor (AK1) di dinas ketenagakerjaan setempat. Peralatan komputer dan operator yang disediakan pun masih terbatas.
Faktanya, sponsor dan perwakilan PPTKIS turut mengantre berbaur dengan calon TKI untuk mengurus AK1 tersebut di Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Indramayu. Program yang berjalan sejak Februari sampai Oktober 2011 ini mendata 10.073 calon TKI yang mengurus rekomendasi tersebut. Padahal, Indramayu masih tercatat sebagai kabupaten pengirim TKI terbanyak.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, sekali kontrak bekerja untuk masa dua tahun, gaji TKI habis untuk membayar utang. Mereka kemudian kembali bekerja ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti membangun rumah, membeli sepeda motor, atau belanja perlengkapan rumah tangga yang serba wah.
Tidak sedikit pula TKI yang berangkat lagi ke luar negeri untuk ketiga kali karena ingin mencari modal usaha sebagai bekal masa depan. Saat mereka kembali seperti ini malah terjadi masalah. "Jadi, ini rantai mafia perekrutan yang tidak pernah diatur dengan mengintegrasikan manajemen remiten dan mekanisme penempatan yang minim biaya sehingga TKI bisa menabung," ujar Anis. (HAMZIRWAN)
Sumber: Kompas.com
Posting Komentar