Siapa yang tidak tertarik bekerja di luar negeri dengan gaji tinggi? Tawaran yang menggiurkan di tengah keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri. Namun, bekerja ke luar negeri bagai melempar koin ke udara. Ada yang berhasil karena mendapat pengguna jasa yang baik. Namun, tak sedikit pula yang kehilangan nyawa atau menjadi korban penganiayaan akibat perlindungan negara yang lemah.
Eksekusi mati Ruyati binti Satubi (54), tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Kampung Srengseng Jaya RT 01 RW 01, Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, di Arab Saudi, Sabtu (18/6), dan penganiayaan berat Siti Hajar (35), TKI asal Kampung Lio Wetan, Desa Limbangan Barat, Garut, Jawa Barat, di Malaysia yang terungkap pada 8 Juni 2009 jangan lagi terulang. Pemerintah semestinya melindungi TKI secara serius dengan tidak menumpuk masalah.
Saat ini, 417 TKI terancam hukuman mati. Sebanyak 348 orang di Malaysia, 45 orang di Arab Saudi, 22 orang di China, dan 2 orang di Singapura. Sebanyak 32 orang di antaranya, seperti Tuti Tursilawati, Satinah, Siti Zaenab, Siti Aminah, dan Darmawati, kini menghitung hari menunggu eksekusi.
Ruyati dan Siti Hajar merupakan dampak sistem penempatan yang memperlakukan TKI tak lebih sebagai komoditas. Mereka diekspor, lalu ditinggalkan begitu saja tanpa pernah dijenguk lagi kondisi kerja dan pemenuhan hak mereka.Mereka berdua adalah bagian dari sedikitnya 6 juta TKI yang berjasa mengirim dana segar puluhan triliun rupiah yang menggerakkan pasar domestik setiap tahun. Mereka juga menjadi bagian dari ribuan TKI bermasalah justru saat bekerja di luar negeri untuk kesekian kalinya.
Ruyati dan Siti Hajar terpaksa kembali bekerja ke luar negeri karena tingkat pendidikan yang rendah dan keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ruyati dan Siti Hajar harus berjuang sendiri menghadapi majikan yang mengabaikan hak asasi mereka. Pemerintah seperti kehilangan daya membela TKI dan baru muncul setiap ada masalah yang menyedot perhatian publik.
Terdesak kebutuhan
Desakan kebutuhan ekonomi dan keinginan memperbaiki nasib membuat jutaan orang terpaksa menjadi pekerja rumah tangga (PRT) ke luar negeri. Bekerja ke luar negeri, apalagi menjadi PRT, bukan candu.
Mereka terpaksa meninggalkan keluarga ribuan kilometer menyeberang samudra karena tidak tersedia cukup lapangan kerja di dalam negeri, apalagi bagi mereka yang hanya mengecap pendidikan SD.
Saat ditemui di rumah mereka, Jumat (11/11), Dartiwen (19), warga Desa Pabean Ilir, Kecamatan Pasekan, Indramayu, dan Casi (26) warga Desa Suranenggala Lor, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengungkapkan keinginan untuk kembali ke luar negeri.
Padahal, Darti baru seminggu pulang kampung setelah empat tahun bekerja di Amman, Jordania, dan Casi baru tujuh bulan pulang bekerja di Damaskus, Suriah. Pengalaman putus kontak bertahun-tahun dengan keluarga di Indonesia dan bekerja di negara yang tengah bertikai, seperti Suriah, tidak menyurutkan niat mereka.
Kemiskinan dan tekanan kebutuhan hidup membuat Darti dan Casi membulatkan tekad kembali ke luar negeri. Casi bisa pulang dari Suriah berkat bantuan aktivis Forum Warga Buruh Migran Indonesia Kabupaten Cirebon, Castra Aji Sarosa.
Demikian pula Darti. Gadis berkulit putih dengan rambut bagai mayang terurai ini pulang dari Jordania dengan bantuan aktivis Front Rakyat untuk Keadilan Buruh Migran Indramayu, Hero Gunawan.
Para aktivis pembela hak buruh migran ini tak kenal lelah mencari tahu keberadaan mereka kepada siapa saja. Mereka menghubungi dinas ketenagakerjaan setempat, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Kedutaan Besar Republik Indonesia, dan pelaksana penempatan TKI swasta.
Konsumtif
Akan tetapi, bisa pulang bukan berarti masalah berakhir. Tingkat pendidikan yang rendah membuat ukuran kesuksesan masih terbatas pada nilai materi sehingga Darti dan Casi ingin kembali menjadi TKI demi memiliki rumah bagus, sepeda motor, atau peralatan elektronik.Hasil kerja di Jordania selama ini baru bisa untuk membangun rumah berdinding bata tanpa plester, berlantai semen kasar, dan beratap seng tanpa langit-langit dari sebelumnya berdinding gedek, beratap daun, dan berlantai tanah. Biaya sudah habis, tetapi rumah belum selesai. Pasir dan batu bata pun menumpuk di teras rumah.
Asdawi (53) dan Darsih (48), ayah dan ibu Darti, hanya tertunduk lesu. Asdawi terdiam sambil mengisap rokok kretek dalam-dalam. Buruh harian lepas dengan upah Rp 30.000 per hari-jika ada pekerjaan-di tambak milik pengusaha dari Jakarta ini hanya bisa termangu mendengar keinginan Darti. Anak mereka yang dulu berangkat ke Jordania sebelum sempat membubuhkan cap tiga jari di surat tanda tamat belajar di SD Negeri Pabean Ilir kini akan kembali mengadu nasib ke luar negeri. Kepada siapa mereka berlindung?
(hamzirwan)
Sumber: Kompas
Posting Komentar