
Garam Biji
Bagi Anastasia Puken (61 tahun) membuat garam menjadi mata pencarian utamanya. “ Sudah sejak nenek moyang kami memasak garam.Kalau tidak masak garam kami mau kerja apa ? “ beber Ana. Ketika ditemui di pondok sederhana yang dijadikan tempat memasak garam, Ana terlihat sibuk memasukan sabuk kelapa ke tungku dan mengaduk garam di wadah di atasnya. Siang itu, Ana sedang memasak garam biji atau garam kasar, sebutan bagi garam yang dimasak dari air laut di tungku api. “ Kalau garam tanah, air laut dikeringkan di areal tambak dan kami ambil sekalian dengan tanahnya. Setelah dituangkan air laut di atas garam tersebut di wadah penyaring. Air yang sudah disaring itu yang dimasak menjadi garam dan disebut garam tanah “ jelasnya. Dalam sehari Ana bisa memasak sampai tiga kali dari jam 7 pagi hingga jam 10 malam dan mendapat hasil dua karung ukuran 50 kilogram. Sekali masak bisa memakan waktu 3 sampai 4 jam tergantung apinya. “ Sabuk kelapa kami beli seharga 250 ribu rupiah dan sewa truk juga harganya sama. Kami bayar 500 ribu diantar sampai depan rumah. Satu truk sabuk kelapa pakai masak garam bisa menghasilkan 8 karung garam “ tukas ibu dari Maria Sufriyati. Garam dijual di pasar Alok seharga 150 ribu rupiah sekarung ukuran 50 kilogram.
Masih Tradisonal
Air laut dimbil memakai ember. Jarak perkampungan ke bibir pantai hanya sekitar 20 meter saja. Air laut yang sudah diambil dituang ke tempat penyaringan. Wadah penyaring terbuat menyerupai tungku yang ditopang empat tiang setinggi 1 meter. Bagian dalamnya diletakan batu karang, pasir laut halus, abu dapur dan garam biji. Air laut yang dituang di dalamnya akan menetes ke bawah dan melewati saringan dari karung plastic sebelum ditampung di ember. Air inilah yang akan dimasukan ke dalam wadah tempat memasak terbuat dari drum bekas berbentuk persegi dengan ukuran panjang 2.5 meter, lebar 1 meter dengan ketinggian 10 sentimeter. Garam yang sudah berbentuk kristal dimasukan ke dalam penyaring berbentuk kerucut berdiameter 1 meter dari anyaman daun lontar (tuak) yang diletakan terbalik di atas rak kayu untuk meniriskan air garamnya. Tempat masak garam berbentuk rumah kerucut sederhana memakai atap daun kelapa dan berdidinding bambu belah (Halar = bahasa Sikka). Di tempat sederhana berukuran 5 kali 5 meter inilah, Anastasia dibantu anak perempuannya setiap hari menghasilkan garam yang dikonsumsi masyarakat Sikka. “ Kalau bisa pemerintah bantu kami buat tungku dan alat penyaring sertta bantu modal buat beli sabuk kelapa “ pinta Ana. ( Ebed )
Ebed de Rosary : wartawan media online Flores Bangkit, www.floresbangkit.com
Blogg : derosaryebed.blogspot.com dan ebedallanderosary.blogspot.com
Posting Komentar