
Pemukiman Kampung Garam dan Tambak Garam yang berada di Kelurahan Kota Uneng kecamatan Alok,kabupaten Sikka,penduduknya banyak yang masih mengandalkan pengolahan garam secara tradisional demi menyambung hidup. Pengolahan garam secara tradisonal terbanyak dilakoni warga RT 13 RW 04 sebanyak 39 keluarga. Beberapa warga RT 13 yang ditemui FBC, Rabu (23/10/2013) mengatakan hampir semua warga di RT tersebut menjadi petani garam. “ Memasak garam sudah dilakukan sejak nenek moyang kami “ tutur Maria Sufriyati.
Masih Tradisional
Proses memasak garam dilakukan secara tradisional memakai peralatan sederhana dan terkesan tidak steril. Wadah yang diapakai memasak garam terbuat dari drum bekas oli atau aspal. Tempat menyaring air laut juga terbuat dari kayu seadanya dan berada di ruang terbuka. Pondok yang dipakai untuk memasak garampun sangat sederhana, beratap daun kelapa dan berdidinding halar (bambu belah ) yang sudah terlihat usang dimakan usia dan berdebu.Bukan Cuma di RT 13, FBC juga menemui hal yang sama di RT 05 dan RT 06 yang berada dalam satu RW. Dari tiga RT tersebut, kini tersisa beberapa warga saja yang masih setia memasak garam. Dalam sehari jika memasak dari jam 6 pagi hingga jam 10 malam bisa dihasilkan sekarung garam sebanyak 50 kilogram yang dilepas ke pasar dengan harga 150 ribu rupiah. “ Dalam sebulan kami bisa masak sampai 8 karung “ sebut Maria Eli (62 tahun) warga Rt 05. Kayu bakar dibeli seharga 500 ribu rupiah satu truck sudah termasuk ongkos pengangkutan. “ Kami beli sabuk kelapa yg masih ada tempurungnya di petani yang membuat kopra “ beber Yuvensia Yuveta (52 tahun ). Memasak garam dilakukan sejak bulan Juli hingga Desember. Kalau tidak masak garam mereka bekerja serabutan mencari kepiting dan siput juga menenun. Bagi yang memasak garam biji atau garam kasar masih bisa bekerja setelah bulan Desember sedangkan petani garam tanah tidak diperbolehkan. “ Setelah digelar upacara adat Ogor Hini, dahulu semua aktifitas memasak garam tidak diperbolehkan. Tapi sekarang ada kelonggaran, hanya yang masak garam tanah saja yang tidak boleh “ jelas Yuven.
Tak Ada Perhatian
Semua petani garam yang ditemui mngeluhkan minimnya perhatian dari pemerintah. “ Kami tidak dapat bantuan buat pengembangan usaha kami. Dulu pernah ada orang dari dinas mau beri pelatihan pembuatan garam beryodium tapi pelatihannya di Nangahale dan jauh jadi orang tua disini tidak bisa ikut “ sebut Maria. Bila diberikan pelatihan dan modal para petani bisa semakin berkembang. “ Kalau bisa pemerintah bantu kami dengan membuat tungku dan tempat penyaringan juga wadah buat memasak garam “ pinta Maria. Selain itu, baik Maria.Yuven maupun Sufriyati berharap bantuan modal membeli kayu api dan daun kelapa serta bambu untuk memperbaiki pondok memasak garam yang sudah usang. Meski tinggal di rumah sederhana dan berada di kota Maumere, mereka seolah terpinggirkan dan tanpa perhatian pemerintah. ( Ebed )
Ebed de Rosary : wartawan media online Flores Bangkit, www.floresbangkit.com
Blogg : derosaryebed.blogspot.com dan ebedallanderosary.blogspot.com


Posting Komentar