Selamat datang di Flores Island

Kisah TKI di Arab Lolos Hukum Pancung (Bagian II)

Kamis, 10 Januari 20130 komentar


100 Hari WNI Ditahan, Tak Ada Perhatian KBRI 

Mimpi Buruk terus menyelimuti tidur Endang selama 100 hari menghuni rumah tahanan (Rutan) Malas di Riyadh. Hatinya kian risau, ketika dia dipindahkan ke blok khusus tersangka kasus pembunuhan dan kejahatan besar lainnya. 

Yang menjadikan Endang tak habis pikir, 100 hari ia ditahan namun tak sekalipun pejabat atau utusan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi datang menjenguknya. Padahal, masalah yang dihadapi Endang tergolong sangat fatal, yakni pembunuhan dengan ancaman hukuman pancung.

“Saya merasa malu dan geram dengan KBRI. Malu karena sering disindir tahanan lain karena tak diperhatikan pemerintah dan geram karena nyawa warga negara di Indonesia di sana tidak ada harganya. Mereka (KBRI) itu hanya sibuk ngurusi hal-hal yang berbau uang saja,” protes Endang.

Kisah pilu tanpa perhatian dari Pemerintah Indonesia terus berlangsung sampai Endang dilayar ke Rutan Malas pada 2 Mei 2007. Kalau di Surabaya, rutan ini sama dengan Rutan Medaeng. Tempat itu digambarkan Endang sebagai tempat pesakitan dengan berbagai macam kejahatan.

“Ada sembilan blok. Nah setiap blok itu bernama jannah atau surga,” ujar Endang. 

Karena dituduh melakukan pembunuhan, Endang ditempatkan di blok lima setelah sebelumnya ditampung di blok tujuh.
Selama menjalani masa penahanan, Endang berusaha hidup dengan ala kadarnya. Namun, dia mengaku tidak bisa menggantungkan hidup hanya dengan berdiam diri. Keahliannya memasak, meskipun hanya mie instan, dimanfaatkan Endang untuk mengais rejeki di tahanan.

“Saya menjadi pelayan makanan bagi tahanan warga Arab. Saya dibayar 60 Riyal untuk satu minggu. Uang tersebut saya gunakan untuk menelpon keluarga di Surabaya. Sekali nelpon, bisa habis Rp 300.000 kalau dikurskan Rupiah.

Begitu juga dengan nasib keluarganya di Surabaya. Fatimah, istrinya, harus berjuang keras menghidupi tiga anaknya tanpa uang kiriman dari Endang. Untuk menyambung hidup, Fatimah berjualan makan ringan. Sampai saat ini, tidak ada bantuan sedikitpun dari Pemerintah Indonesia.

Kondisi Endang semakin tertekan karena mendapatkan kabar ibunya sakit-sakitan karena memikirkan nasibnya. “Dari mana saya dapat uang untuk mengobati ibu. Untuk sekedar bekomunikasi saja, istri saya menghabiskan Rp 30 juta selama saya di tahanan,” keluhnya.

Di tahanan, Endang mengaku iri dengan teman senasibnya asal Filipina. Pemerintah Filipina lebih peduli dengan nasib warganya yang bermasalah. 

“Teman satu blok saya ada yang terjerat kasus pembunuhan majikan dan anaknya. Tapi dia akhirnya lolos karena presidennya yang memperjuangkannya,” kata Endang.

Kala itu, Presiden Filipina dijabat Gloria Macapagal Arroyo. Dialah yang langsung meminta pengampunan hingga akhirnya hukuman pancung tak terjadi. Begitu juga dengan tahanan asal Filipina lainnya. Setiap minggu, mereka selalu didatangi utusan kedutaan besar Filipina untuk menanyakan proses hukum yang berjalan.

“Bukan hanya saya, ada ratusan warga Indonesia yang mengeluhkan tidak dipedulikan oleh KBRI. Saya sedih, marah dan iri dengan kondisi itu. Saya semakin yakin kalau hukuman pancung pasti diberikan pada saya karena pemerintah sama sekali tidak peduli,” sesalnya.

Bahkan, tidak ada satu pun pihak KBRI yang menghubungi keluarganya di Surabaya. Endang pun tak pernah dijenguk utusan KBRI selama di rutan. “Mereka cuek dengan nasib kami. Tidak ada KBRI, pihak penyalur tenaga kerja tidak ada pula BPN2PTKI (Badan Nasional Perlindungan dan Penenpatan Tenaga Kerja Indonesia, -Red) yang datang menjenguk kami,” kembali Endang memprotes.

Dalam situasi lain, Endang merasa geram lantaran ada 11 orang warga Arab, yang menghuni satu blok dengannya, lolos dari hukuman pancung padahal mereka tersangka kasus pemerkosaan seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang akhirnya korban meninggal dunia. 

“Dengan membayar denda 25.000 Riyal, 11 orang tersangka itu bisa bebas. Padahal, tak diragukan lagi perbuatan biadab 11 tersangka itu diancam hukuman pancung," ungkap Endang, "Kalau KBRI mengawal kasus itu hingga mengikuti persidangan, pasti hasilnya akan lain,” imbuhnya

Endang enggan menyalahkan pemerintah Arab Saudi. Pasalnya, hukum Syariat Islam di sana memang mengharuskan nyawa dibalas nyawa. 

Namun, hukuman itu sebenarnya dihindari kalau pemerintah suatu negara lebih perhatian dengan nasib tenaga kerjanya. Ketidakpedulian pemerintah ini, membuat Endang merasa begitu dekat dengan ajal sebagaimana TKI lain yang sudah dieksekusi mati.

http://surabaya.tribunnews.com/2012/10/16/100-hari-wni-ditahan-tak-ada-perhatian-kbri-bag2
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Ebed Allan Derosary - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger