100 Hari WNI Ditahan, Tak Ada Perhatian KBRI
Mimpi Buruk terus menyelimuti
tidur Endang selama 100 hari menghuni rumah tahanan (Rutan) Malas di
Riyadh. Hatinya kian risau, ketika dia dipindahkan ke blok khusus
tersangka kasus pembunuhan dan kejahatan besar lainnya.
Yang
menjadikan Endang tak habis pikir, 100 hari ia ditahan namun tak
sekalipun pejabat atau utusan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
di Arab Saudi datang menjenguknya. Padahal, masalah yang dihadapi Endang
tergolong sangat fatal, yakni pembunuhan dengan ancaman hukuman
pancung.
“Saya merasa malu dan geram dengan KBRI. Malu karena
sering disindir tahanan lain karena tak diperhatikan pemerintah dan
geram karena nyawa warga negara di Indonesia di sana tidak ada harganya.
Mereka (KBRI) itu hanya sibuk ngurusi hal-hal yang berbau uang saja,”
protes Endang.
Kisah pilu tanpa perhatian dari Pemerintah
Indonesia terus berlangsung sampai Endang dilayar ke Rutan Malas pada 2
Mei 2007. Kalau di Surabaya, rutan ini sama dengan Rutan Medaeng. Tempat
itu digambarkan Endang sebagai tempat pesakitan dengan berbagai macam
kejahatan.
“Ada sembilan blok. Nah setiap blok itu bernama jannah atau surga,” ujar Endang.
Karena dituduh melakukan pembunuhan, Endang ditempatkan di blok lima setelah sebelumnya ditampung di blok tujuh.
Selama
menjalani masa penahanan, Endang berusaha hidup dengan ala kadarnya.
Namun, dia mengaku tidak bisa menggantungkan hidup hanya dengan berdiam
diri. Keahliannya memasak, meskipun hanya mie instan, dimanfaatkan
Endang untuk mengais rejeki di tahanan.
“Saya menjadi pelayan
makanan bagi tahanan warga Arab. Saya dibayar 60 Riyal untuk satu
minggu. Uang tersebut saya gunakan untuk menelpon keluarga di Surabaya.
Sekali nelpon, bisa habis Rp 300.000 kalau dikurskan Rupiah.
Begitu
juga dengan nasib keluarganya di Surabaya. Fatimah, istrinya, harus
berjuang keras menghidupi tiga anaknya tanpa uang kiriman dari Endang.
Untuk menyambung hidup, Fatimah berjualan makan ringan. Sampai saat ini,
tidak ada bantuan sedikitpun dari Pemerintah Indonesia.
Kondisi
Endang semakin tertekan karena mendapatkan kabar ibunya sakit-sakitan
karena memikirkan nasibnya. “Dari mana saya dapat uang untuk mengobati
ibu. Untuk sekedar bekomunikasi saja, istri saya menghabiskan Rp 30 juta
selama saya di tahanan,” keluhnya.
Di tahanan, Endang mengaku
iri dengan teman senasibnya asal Filipina. Pemerintah Filipina lebih
peduli dengan nasib warganya yang bermasalah.
“Teman satu blok
saya ada yang terjerat kasus pembunuhan majikan dan anaknya. Tapi dia
akhirnya lolos karena presidennya yang memperjuangkannya,” kata Endang.
Kala
itu, Presiden Filipina dijabat Gloria Macapagal Arroyo. Dialah yang
langsung meminta pengampunan hingga akhirnya hukuman pancung tak
terjadi. Begitu juga dengan tahanan asal Filipina lainnya. Setiap
minggu, mereka selalu didatangi utusan kedutaan besar Filipina untuk
menanyakan proses hukum yang berjalan.
“Bukan hanya saya, ada
ratusan warga Indonesia yang mengeluhkan tidak dipedulikan oleh KBRI.
Saya sedih, marah dan iri dengan kondisi itu. Saya semakin yakin kalau
hukuman pancung pasti diberikan pada saya karena pemerintah sama sekali
tidak peduli,” sesalnya.
Bahkan, tidak ada satu pun pihak KBRI
yang menghubungi keluarganya di Surabaya. Endang pun tak pernah dijenguk
utusan KBRI selama di rutan. “Mereka cuek dengan nasib kami. Tidak ada
KBRI, pihak penyalur tenaga kerja tidak ada pula BPN2PTKI (Badan
Nasional Perlindungan dan Penenpatan Tenaga Kerja Indonesia, -Red) yang datang menjenguk kami,” kembali Endang memprotes.
Dalam
situasi lain, Endang merasa geram lantaran ada 11 orang warga Arab,
yang menghuni satu blok dengannya, lolos dari hukuman pancung padahal
mereka tersangka kasus pemerkosaan seorang tenaga kerja wanita (TKW)
asal Indonesia yang akhirnya korban meninggal dunia.
“Dengan
membayar denda 25.000 Riyal, 11 orang tersangka itu bisa bebas. Padahal,
tak diragukan lagi perbuatan biadab 11 tersangka itu diancam hukuman
pancung," ungkap Endang, "Kalau KBRI mengawal kasus itu hingga mengikuti
persidangan, pasti hasilnya akan lain,” imbuhnya
Endang enggan menyalahkan pemerintah Arab Saudi. Pasalnya, hukum Syariat Islam di sana memang mengharuskan nyawa dibalas nyawa.
Namun,
hukuman itu sebenarnya dihindari kalau pemerintah suatu negara lebih
perhatian dengan nasib tenaga kerjanya. Ketidakpedulian pemerintah ini,
membuat Endang merasa begitu dekat dengan ajal sebagaimana TKI lain yang
sudah dieksekusi mati.
http://surabaya.tribunnews.com/2012/10/16/100-hari-wni-ditahan-tak-ada-perhatian-kbri-bag2
Posting Komentar