
Peralatan dari gerabah
atau keramik sejak zaman nenek moyang dipergunakan sebagai perlengkapan rumah
tangga. Sentra kerjinan gerabah ditemukan hampir di setiap daerah di negeri ini
termasuk di kabupaten Sikka. Bagi masyarakat Sikka, bicara gerabah maka pasti
akan merujuk kecamatan Bola. Di Bola kini tersisa tiga dusun yang masih setia
dengan produksi gerabahnya.
Bertandang ke kecamatan
Bola ada baiknya mampir ke dusun Wuu buat melihat langsung pembuatan gerabah
yang masih memakai cara tradisional warisan leluhur. Tris, salah seorang wanita
pengrajin gerabah yang ditemui di rumahnya, menyebutkan, kini tersisa tiga
dusun saja yakni dusun Wuu, dusun Wolokoli dan dusun Gedo di desa Wolokoli yang
menekuni pembuatan gerabah. Tiga tahun sudah Tris bergelut dengan tanah liat
menghasilkan kendi buat memasak arak (unu tua ) dan periuk. “ Sudah tiga tahun
saya membuat keramik setelah pulang merantau dari Kalimantan dan suami tercinta
dipanggil Yang Kuasa lima tahun silam ‘ ujar ibu dua anak ini. Disebutkan Tris,
keahlian membuat keramik diwariskan oleh orang tua (mama ) dan sudah dilakukan
turun temurun. Ada 6 keluarga di dusun Wuu masih aktif membuat keramik. “ Tanah
kami beli di dusun Gedo. Satu sak semen ukuran 40 kilogram dibeli seharga 25
ribu rupiah “ sebutnya. Sekarung tanah liat bisa menghasilkan kendi memasak
arak ukuran besar yang dijual seharga 150 ribu rupiah di pasar Geliting yang
berjarak 24 kilometer dari dusunnya. Dalam sebulan dirinya bisa menjual 4 kendi
ukuran besar seharga 150 ribu dan 4 periuk kecil seharga 50 ribu rupiah. “
Kalau dulu awal Juni atau Juli sudah mulai buat keramik. Sekarang ini kami
mulai kerja bulan April dan berakhir di di bulan Desember. Kalau musim hujan
tidak kerja jadi kami berkebun dan menenun sarung “ tambah ibu dari Emilianus
Moa Jo dan Imelda Dua Afri.
Peralatan
Sederhana
Tanah yang dibeli
dijemur selama 2 hingga 3 hari tergantung panas matahari dan sesudahnya di
ayak. Tanah liat dibentuk memakai alat sederhan berupa kayu bulat gerdiameter
10 sentimetrer sepanjang 30 sentimeter buat melubangkan bagian dalam. Kayu
pipih selebar tangan dipakai memukul dan merapikan bsgisn luarnya. Kayu bundar
sebesar ibu jari diceluoan ke air untuk merapikan bagian dalamnya. Setiap kali
merapikan gerabah, kayu selalu dicelupkan ke air terlebih dahulu biar permukaan
yang dibentuk akan licin. Kain keras (bahan jenas) seukuran kepalan tangan
dipakai merapikan hasilnya. “ Selesai dijemur, gerabah dibakar di tungku
seperti membakar batu bata. Kalau cepat sejam sudah selesai. Tapi itu
tergantung nyala apinya. Kalau nyalanya kurang bisa sampai dua jam. Biasanya
kami pakai kayu bambu karena mudah didapat di sekitar tempat tinggal kami “
tutur Tris. Modal menjadi kendala baginya. Tris memohon agar pemerintah bisa
membantu pengrajin gerabah di desanya dengan memberikan tungku pembakaran
gerabah atau uang membeli tanah liat. “ Kalau buat gerabah pakai mesin kami
belum bisa karena belum ikut pelatihan “ sebutnya. Tris bersama 5 orang teman lainnya
pernah diliput televisi swasta nasional mengenai proses pembuatan keramik
secara tradisional. “ Saya akan terus menekuni pekerjaan ini. Anak saya yang
perempuan juga sudah mulai tertarik dan belajar membuatnya “ bebernya. ( Ebed )
Ebed de Rosary : wartawan media online floresbangkit.com
Blogg saya : derosaryebed.blogspot.com dan ebedallanderosary.blogspot.com
Posting Komentar